Jumat 17 Aug 2018 10:53 WIB

Implementasi Wasathiyah Islam dalam Fikih Haji

Regulasi penyelenggaraan haji tetap mengacu kepada legitimasi mazhab fikih

Suasana salat berjamaah di Masjid Al Haram, Mekkah, Rabu (23/5) waktu setempat.
Foto:
Tenda jamaah haji di Mina (ilustrasi)

Dari benturan antara dua kepentingan yang berbeda itulah, maka solusinya harus melahirkan regulasi yang bijak yang sejalan dengan prinsip-prinsip ijtihad fikih moderat, yang bisa dikatakan sebagai implementasi konsep wasathiyah Islam dalam fikih haji. Maka kebijakan dan regulasi yang melewatkan ibadah yang hukumnya sunnah ataupun afdhaliyat, demi melindungi kemaslahatan yang lebih besar adalah dibenarkan sebagai salah satu implementasi dari konsep wasathiyah Islam dalam fikih haji.

Sebagai konsekuensi penyelenggaraan haji telah menjadi hajatan dan tanggung jawab negara, tidak bisa dihindari adanya keharusan regulasi-regulasi haji yang dikeluarkan negara sebagai perwujudan legislasi fikih ke dalam peraturan perundang-undangan dan regulasi. Contoh faktual dari kebijakan pemerintah Saudi yang melewatkan ritual mabit di Mina pada hari Tarwiyah (tanggal 8 Zulhijah sebelum pelaksanaa wukuf) dalam rute resmi perjalanan haji bagi jamaah haji Indonesia atas legitimasi mazhab fikih yang berpendapat, hukumnya hanya sunnah saja bukan rukun atau wajib haji, demi menghindari problem kesulitan yang terjadi jika seluruh jamaah melakukannya. Namun tetap memberi izin dan membantu pelayanannya bagi para jamaah yang berkeyakinan wajib serta hendak melakukannya, meski waktu keberangkatannya tidak bisa sama persis dengan apa yang dipraktikan Nabi SAW.

Kebijakan itu cukup realistis, moderat, dan tidak melanggar hukum fikih. Tetapi lain halnya jika kebijakan itu sudah sampai pada tahap melarang secara permanen dan tidak mengakomodir pendapat yang lain, maka ia telah keluar dari manhaj wasathiyah.

Area Mina yang ditaksir tidak lebih dari 20 km persegi setelah perluasan, idealnya hanya menampung 1,4 juta jamaah demi keleluasaan sarana akomodasi dan kelancaran pergerakan jamaah. Dalam prakteknya dipadati hampir dua juta jamaah atau bahkan lebih. Sehingga jika semuanya serentak masuk ke arena Mina pada saat bersamaan niscaya terjadi kepadatan manusia pada setiap ruangnya dan antrean panjang di perjalanan yang membentang hingga jalan-jalan yang menghubungkan dari Masjidil Haram ke Mina.

Hal yang sama terjadi pada kebijakan membuat jadwal waktu melempar jamarat yang di luar waktu yang utama. Karena jika seluruh jamaah haji se-Indonesia saja yang berjumlah 221.000 jamaah semuanya ingin melempar jamarat pada waktu utama secara bersamaan, niscaya akan terjadi antrean panjang berkilo-kilo meter dan berjam-jam untuk mendapat kesempatan disebabkan terbatasnya arena dan waktu utama melempar jamarat. Maka waktu utama itu niscaya sudah keburu berakhir dan semua orang akan berebut berdesak-desakan untuk mendapat kesempatan itu. Dampaknya akan terjadi kecelakaan karena perebutan dan tabrakan yang tidak bisa dihindari antarjamaah yang menuju ke lokasi maupun yang ke luar dan masuk lokasi.

Itulah yang terjadi beberapa puluh tahun yang lalu, kecelakan dan korban jiwa sering terulang di arena Jamarat di Mina. Kondisi seperti itu akan lebih parah lagi jika seluruh jamaah haji dari seluruh negeri Muslim sedunia yang jumlahnya akan mencapai lebih dari dua juta orang melakukan hal serupa.

Fakta-fakta lapangan seperti itulah yang sepatutnya diketahui para jamaah haji sehingga dapat memahami kebijakan-kebijakan pemerintah Saudi dan Indonesia dalam membuat regulasi penyelenggaraan haji. Sebagai sebuah kebijakan manusiawi yang dipengaruhi banyak pertimbangan, meskipun tetap mengacu kepada legitimasi mazhab fikih, tentu terbuka untuk terus dievaluasi, dikaji ulang dan direvisi untuk lebih dekat kepada kebenaran yang dikehendaki Islam dan tetap berada pada manhajnya yang wasathiyah. Wallahu A'lam.

Makkah Al Mukarramah, 16 Agustus 2018.

*) Wakil Ketua Umum PP. Persis

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement