REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan membantah Turki berada dalam krisis mata uang. Ia menolak jatuhnya nilai mata uang Turki, lira, sebagai 'fluktuasi' yang tidak ada hubungannya dengan fundamental ekonomi.
Pernyataan ini disampaikan Erdogan setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menggandakan tarif pada impor baja dan aluminium Turki. Erdogan menggambarkan penurunan terendah lira hingga 18 persen pada Jumat (10/8) sebagai 'rudal' perang ekonomi yang dilancarkan terhadap Turki.
Erdogan mengatakan, pihak-pihak yang gagal melakukan kudeta pada 2016 saat ini mencoba menargetkan Turki melalui ekonominya. Erdogan berjanji, Turki akan melawan itu.
"Mereka yang tidak bisa bersaing dengan kami di lapangan telah membawa petak-petak uang fiktif online yang tidak ada hubungannya dengan realitas negara kami, produksi dan ekonomi riil," kata Erdogan pada pertemuan provinsi Partai AK di kota pesisir Laut Hitam, Rize, Sabtu (11/8).
"Negara ini tidak runtuh, tidak hancur atau bangkrut atau dalam krisis," katanya. Menurut Erdogan, jalan keluar dari 'plot mata uang' adalah untuk meningkatkan produksi dan 'meminimalkan suku bunga'.
Lira Turki telah kehilangan nilai sekitar 40 persen pada tahun ini. Sebagian besar karena kekhawatiran tentang pengaruh Erdogan atas ekonomi, seruan berulang untuk suku bunga rendah dalam menghadapi inflasi tinggi, dan hubungan yang memburuk dengan AS.
AS dan Turki juga berselisih mengenai berbagai topik. Dari berbagai kepentingan di Suriah, ambisi Turki untuk membeli sistem pertahanan Rusia, hingga kasus pendeta Evangelis Andrew Brunson, yang diadili di Turki atas tuduhan terorisme. Erdogan juga menyinggung 'batas akhir' untuk waktu penyerahan Brunson. "(Mereka) mengancam, mengatakan Anda akan mengirim Brunson sampai jam enam sore. Ini bukan negara acak. Ini adalah Turki," katanya.
Delegasi Turki mengunjungi Washington pada pekan ini untuk melakukan perundingan, tetapi tidak tampak hasil dari perundingan itu. Setelah hampir 20 bulan di penjara Turki, Brunson dipindahkan ke tahanan rumah pada Juli oleh pengadilan. Sejak itu Trump dan wakil presidennya, Mike Pence, telah berulang kali menyerukan pembebasannya.
Sementara, Ankara mengatakan keputusan itu berada di pengadilan. Trump pada Jumat (10/8) mengumumkan penggandaan tarif pada impor baja dan aluminium dari Turki. Ia mengatakan hubungan dengan Ankara "tidak baik pada saat ini".
Turki merupakan pasar negara berkembang yang penting. Turki berbatasan dengan Iran, Irak dan Suriah dan pro Barat selama beberapa dekade. Gejolak keuangan berisiko mengguncang wilayah tersebut.
Sebuah pertemuan pada Jumat mengungkapkan pendekatan ekonomi baru oleh menteri keuangan Turki Berat Albayrak, menantu Erdogan. Namun, upaya tidak banyak membantu memulihkan nilai lira. Erdogan juga mengulangi seruannya kepada warga Turki untuk menjual dolar dan tabungan euro agar mampu menahan nilai lira. "Jika ada dolar di bawah bantal Anda, keluarkan ini segera berikan ke bank dan gunakan lira Turki," katanya.
Dalam opini terpisah di surat kabar pro pemerintah Daily Sabah, juru bicara Erdogan, Ibrahim Kalin, mengatakan upaya Turki untuk menyelesaikan krisis dengan metode diplomatik telah ditolak oleh pemerintahan Trump.
Ia memperingatkan bahwa AS akan menghadapi risiko kehilangan Turki sebagai sekutu. "Seluruh masyarakat Turki menentang kebijakan AS yang mengabaikan tuntutan keamanan sah Turki. Ancaman, sanksi, dan intimidasi terhadap Turki tidak akan berhasil," katanya. n reuters ed: setyanavidita livikacansera