Ahad 12 Aug 2018 20:41 WIB

Ma’ruf Amin, Tokoh Ketiga NU yang Jadi Cawapres

Berbeda dari 2004, kali ini Jokowi-Ma'ruf berpeluang meraup suara utuh dari NU.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Ratna Puspita
Calon presiden petahana Joko Widodo bersama calon wakil presiden KH. Ma'ruf Amin berfoto sebelum melakukan sesi pemeriksaan kesehatan di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, Ahad (12/8).
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Calon presiden petahana Joko Widodo bersama calon wakil presiden KH. Ma'ruf Amin berfoto sebelum melakukan sesi pemeriksaan kesehatan di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, Ahad (12/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KH Ma'ruf Amin menjadi calon wakil presiden (cawapres) mendampingi calon presiden (capres) pejawat Joko Widodo (Jokowi) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Pasangan capres-cawapres ini dinilai menjadi kombinasi antara nasionalis dan religius. 

Jokowi disebut sosok nasionalis karena berafiliasi dengan PDIP yang dikenal sebagai partai politik nasionalis. Ma'ruf Amin yang berasal dari kalangan ulama.

Ia menduduki posisi penting sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Dipilihnya Ma'ruf Amin sebagai cawapres menambah daftar tokoh NU yang pernah berkompetisi di pilpres. 

Pasca-reformasi, setidaknya ada empat tokoh NU yang mendaftar sebagai capres-cawapres Republik Indonesia (RI). Ini terjadi pada pemilihan umum (pemilu) langsung pertama kali pada 2004 sampai pilpres tahun depan.

Baca JugaJokowi-Ma'ruf akan Didukung JK, Menteri, dan Kepala Daerah

Pada Pilpres 2004, ada tiga tokoh NU yang turut serta. Ketiganya, yakni mantan wakil presiden RI Hamzah Haz yang mendaftarkan diri sebagai calon presiden. Ia didampingi mantan ketua umum PSSI Agum Gumelar sebagai cawapres.

Ada pula Salahuddin Wahid atau akrab disapa Gus Solah, yang merupakan adik dari almarhum Presiden ke-3 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Sholah menjadi cawapres mendampingi Wiranto pada pilpres 2004. 

Terakhir, Hasyim Muzadi yang menjabat ketua Umum PBNU mendampingi capres Megawati Soekarnoputri sebagai cawapres. Pada pilpres 2004 itu diikuti empat pasangan capres-cawapres yang akhirnya dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK). 

Selanjutnya, tak ada lagi tokoh NU yang mengikuti ajang kontestasi pilpres di periode berikutnya. Menurut CEO Alvara Research Center Hasanuddin Ali, suara dari kalangan NU pada Pilpres 2004 terpecah kepada tiga pasangan yang masing-masing terdapat tokoh NU. Termasuk kepada pasangan SBY-JK. 

"Ya kalau dulu Mega-Hasyim kan lawannya adalah Pak SBY dan Pak JK. Nah di mana di situ Pak JK ada simbolnya dengan NU," kata Hasan saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (12/8).

photo
KH Ma'ruf Amin

Sampai saat ini belum ada tokoh NU yang menduduki kursi istana hasil dari pemilu langsung. Akan tetapi, ada dua tokoh NU yang berhasil menjadi orang nomor satu dan dua di Indonesia. 

Ia adalah cucu dari pendiri NU Hasyim Asyari, Gus Dur. Ia dipilih melalui MPR untuk memimpin Indonesia setelah reformasi pada 1998 yang didampingi Wakil Presiden Megawati.

Namun, posisi Presiden RI itu tak dirasakan Gus Dur sampai akhir periode jabatannya. Pada 2001, MPR memakzulkan dirinya melalui sidang istimewa. Kemudian, Megawati yang menggantikan Gus Dur sebagai presiden ke-4 RI.

Setelah itu, tokoh NU yang merasakan kursi istana ialah Hamzah Haz. Ia berhasil terpilih sebagai wakil presiden mendampingi Megawati melalui pemilihan tidak langsung. Ia mengalahkan kandidat lain di antaranya SBY dan Akbar Tandjung.

Baca Juga: Sekjen PKB: Duet dengan NU. Beda dari Sebelumnya

Kemudian, muncul nama Ma'ruf Amin sebagai cawapres yang mendampingi Jokowi pada pilpres 2019. Hasan menyebut pasangan ini berpeluang meraup suara utuh dari kalangan NU, sebagai salah satu organisasi islam terbesar di Tanah Air. 

Sebab, menurut dia, pasangan penantang Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tidak memiliki hubungan dengan tokoh NU. Akan tetapi, Hasan mengatakan hal tersebut bukan penentu kemenangan di pilpres 2019. 

Ada suara dari pemilih lain yang bukan dari kelompok NU. Ia menyebut, agama bukan menjadi satu-satunya faktor untuk mendulang suara pemilih. "Ada beberapa faktor lain misalnya soal program, terus kemudian juga soal kebijakan yang akan digulirkan oleh para kandidat," tutur Hasan.

Ia menambahkan saat ini belum bisa menebak pasangan yang mendominasi pilpres 2019. "Kami belum bisa melihat itu, ini masih awal sekali. Masih ada enam atau tujuh bulan lagi untuk menentukan kira-kira siapa yang akan menjadi pemenang, terlalu dini untuk menebak," kata dia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement