REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jakarta sebagai kota megapolitan, hutannya adalah hutan beton. Ladangnya adalah ladang bisnis. Namun, bagi Nenek Diah, lahan yang sempit adalah lahan rezeki baginya.
Ketika ditemui Republika.co.id, Jumat (10/8), Nenek Diah sedang duduk di sisi jalan Inspeksi Kanal Banjir Barat, Cakung, Jakarta Timur. Ia tidak duduk sendiri, ada puluhan ikat kangkung, bayam, sawi, selada, dan kemangi bersamanya sejak siang hari, menanti pembeli yang sengaja atau tidak sengaja melintas jalan tersebut.
Nenek Diah tidak berteriak layaknya pedagang sayur lain. Di usia yang ia lupa jumlahnya, agaknya cukup sulit berteriak memanggil-manggil pembeli.
"Berapa ya? 70 (tahun), 80 (tahun) kayaknya ada," ucap Nenek Diah, mencoba mengingat-ingat usianya.
Untuk seikat kangkung besar, ia hargai dengan Rp 1.000, untuk bayam Rp 1.500, sawi dan selada Rp 2.000, dan Rp 5.000 untuk sebungkus plastik jumbo daun kemangi. "Kalau kemangi repot ngiketnya, ambil aja nih (kemangi) semua Rp 5.000," ujar dia.
Nenek Diah, menjual sayuran hasil tanamannya sendiri, kawasan Kanal Banjir Timur, Jakarta Timur, Jumat (10/8). Foto: Republika/Muhammad Ikhwanuddin
Untuk menjaga kepraktisan, Nenek Diah sudah menyediakan kantong plastik untuk membungkus sayur-mayur kepada pembeli. Selain itu, sebelum sayurnya dibeli, ia menyediakan pisau untuk memotong akar sayuran agar tidak merepotkan pembeli.
Ia berjualan setiap pukul 13.00 WIB, sesaat setelah makan siang. Karena penerangan kawasan Kanal Banjir Timur (KBT) yang masih kurang, ia memilih menutup lapak sederhananya ketika petang menjelang.
Ternyata, sebelum berjualan di pinggir jalan, sebelumnya ia menjajakan sayur hasil menanamnya sendiri di Pasar Ujung Menteng, Cakung, Jakarta Timur. "Subuh sampai siang ke pasar, abis itu baru ke sini," kata Nenek Diah.
Ya, tanaman yang ia jual adalah buah tangannya sendiri. Ia menanam seluruh sayur-mayur di sebuah lahan kosong tak bertuan di sekitar KBT.
Sebenarnya, ia khawatir jika sewaktu-waktu ada pemilik tanah yang mengakui lahannya. Namun ia yakin, tanah tersebut tidak ada yang punya kecuali Sang Pencipta.
Kebun sayur di kawasan Kanal Banjir Timur, Jakarta Timur, Jumat (10/8). Foto: Republika/Muhammad Ikhwanuddin
Kangkung yang ditanam, kata Nenek Diah, dapat dipanen dalam waktu satu bulan. Begitu juga dengan bayam. Setiap bulannya, ia tidak menghitung pasti berapa total bobot tanaman yang ia panen. Bukan karena malas, ia mengaku tidak ingin menghitung-hitung pendapatan yang ia dapat.
"Sedapatnya aja," ujar dia.
Namun, ia meminta maaf karena tidak bisa menunjukkan kebunnya karena khawatir badannya kelelahan. Namun, ia mencontohkan kepada Republika.co.id bagaimana rupa kebun kecilnya.
Nenek Diah menunjuk ke arah sungai KBT yang di bagian tepinya dipenuhi berbagai macam sayuran, umbi-umbian, dan buah-buahan. Ada kangkung, bayam, dan sawi yang siap panen.
Ada pula singkong dan pepaya yang baru terlihat batang pohonnya. "Nanti ngambil airnya di kali aja, karena ada terus airnya," ucapnya.
Nenek Diah, menjual sayuran hasil tanamannya sendiri di kawasan Kanal Banjir Timur, Jakarta Timur, Jumat (10/8). Foto: Republika/Muhammad Ikhwanuddin
Namun, mereka yang menanam tanaman di tepian sungai, harus rela tanamannya hanyut terbawa air ketika musim hujan tiba. Karena itu, kata Nenek Diah, warga lebih sering menanam sayur ketika musim mendekati kemarau.
Dari hasil usaha menanamnya selama lima tahun, Nenek Diah mampu hidup tanpa ketergantungan dari anak-anak dan cucunya. "Alhamdulillah, cucu udah banyak, berapa ya? Lupa juga hahaha," ujarnya.