Kamis 09 Aug 2018 12:04 WIB

BMKG: Indonesia Komitmen Pengurangan Emisi GRK

Membuktikan Indonesia bukan negara terbesar penghasil emitter gas CO2.

Rep: Maman Sudiaman/ Red: Angga Indrawan
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati
Foto: RepublikaTV/Fakhtar Khairon Lubis
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Data menunjukkan 14 tahun pengukuran gas rumah kaca (GRK) di Bukit Kototabang tingkat konsentrasi CO2 sekitar 1.94 part per mil (ppm) per tahun. Dari dari 371.7 ppm pada Juni 2004 menjadi 398.8 ppm pada Juni 2018 lebih rendah dari laju kenaikan konsentrasi CO2 global.

Menurut Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati kondisi ini tentunya membuktikan bahwa Indonesia bukan negara terbesar penghasil emitter gas CO2.

"Kecenderungan tren yang terus naik dari waktu ke waktu menjadikan kita untuk sadar dalam upaya mitigasi perubahan iklim,"ujar Dwikorita dalam siaran persnya yang kepada Republika, hari ini.

Berbicara di kegiatan  workshop Internasional On Global Atmospheric Watch di Jakarta baru-baru ini,  Dwikorita menambahkan secara gobal, peningkatan konsentrasi rata-rata CO2 telah mencapai nilai yang signifikan di atas 400 ppm. Ini pertama kali terjadi tahun 2015 dipicu fenomena El Nino ketika itu dan rekor baru terus  muncul di tahun 2016 dan 2017.

Ia mengutarakan WMO (oreganisasi meteorologi dunia-red) memprediksikan bahwa level CO2 global akan tetap berada di atas 400 ppm dan tidak akan turun dalam beberapa generasi ke depan.

El Nino kuat 2015 telah memberikan dampak kekeringan di wilayah tropis yang dapat mengurangi kapasitas absorbsi (penyerapan) terhadap CO2 oleh hutan, tanaman dan lautan atau dikenal dengan istilah “carbon sinks”. 

Carbon sinks  hingga saat ini telah menyerap separuh dari emisi CO2 tetapi ada risiko proses itu menjadi jenuh dan justru berbalik menambah emisi CO2 ke atmosfer. Sehingga, “El Nino bisa saja sudah berlalu, tetapi emisi CO2 penyebab pemanasan global dan perubahan iklim tetap berlangsung”. 

Dwikorita menegaskan bila tanpa penanggulangan emisi CO2, kita tidak akan mampu menanggulangi perubahan iklim dan kenaikan global temperatur kurang dari 2(C dari era pra-industri. 

"BMKG bersama supervisi WMO telah berkontribusi secara global dan nasional dalam melaporkan pengukuran gas rumah kaca yang dilakukan Stasiun Global Atmosphere Watch (GAW),"ungkap Dwikorita.

Dwikorita pun menuturkan Di Indonesia, dibangun Stasiun GAW Bukit Koto Tabang, Sumatera Barat yang merupakan salah satu dari 30 stasiun pemantau atmosfer global di dunia dan unit kerja di bawah koordinasi BMKG yang menjadi kontributor data ke World Data Centre (WDC) meliputi data GRK, ozon dan karbonmonoksida (WDCGG), data radiasi matahari (WRDC) dan aerosol (WDCA) yang beroperasi sejak 7 Desember 1996.

"Stasiun GAW Bukit Koto Tabang ini mewakili kondisi gas rumah kaca di wilayah Indonesia bagian barat," tuturnya.

"Alat pengamatan yang digunakan di GAW Kutotabang merupakan standar  Internasional dan sudah terverifikasi, begitupun juga dengan kualitas SDM nya sudah memenuhi syarat dan terverifikasi sehingga data yang dihasilkan pun sudah berkualitas dunia.

Ia pun menambahkan  Stasiun GAW Bukit Kototabang telah berkembang menjadi pusat penelitian yang unggul untuk pemantauan dan penelitian atmosfer yang melibatkan partisipasi aktif dari pemerintah provinsi setempat, universitas dan instansi pemerintah antara lain: KLHK, Kemristek, BAPPENAS, BMKG, BPPT, LAPAN dan institusi terkait lainnya. 

Ia pun  menegaskan Pengamatan GRK yang dilakukan BMKG adalah sebagai salah satu komitmen Indonesia untuk ikut serta dalam aksi mitigasi sesuai kesepakatan Paris (Paris Agreement,  2015) dan niat resmi pemerintah Indonesia dalam Nationally Determined Contribution (NDC). 

Target Indonesia dalam NDC saat ini adalah bagian dari Rencana Aksi Nasional (RAN-GRK) sebagai sebuah keputusan politik tingkat tinggi yang mengintegrasikan program pembangunan nasional di mana Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK sebesar 29% dengan upaya sendiri atau 41% dengan dukungan sampai pada tahun 2030. 

"BMKG terus berupaya melakukan pengamatan konsentrasi GRK baik melalui Stasiun GAW maupun pengukuran GRK otomatis di 5 (lima) lokasi Unit Pelaksana Teknis (UPT) BMKG di daerah.

"Sebagai bukti keseriusan Indonesia sebagai salah satu pusat pemantau atmosfer global sekaligus salah satu paru-paru dunia, BMKG melalui APBN tahun 2013 membangun Stasiun Pemantau Atmosfer Global Lore Lindu Bariri Palu, Sulawesi Tengah untuk merepresentasikan data GRK Indonesia bagian tengah dan Stasiun Pemantau Atmosfer Global Puncak Vihara Klademak Sorong, Papua untuk mewakili Indonesia bagian timur.

"Dengan adanya penambahan jaringan stasiun pemantau atmosfer dan jaringan pemantau GRK dengan kerja sama internasional tersebut, BMKG akan mampu memberikan pelayanan terkait isu pemanasan global dan perubahan iklim yang cepat, tepat, akurat serta luas jangkauannya sebagai bentuk komitmen internasional dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global," sambungnya. 

Sementara Dr Oksana Tarasova, Chief of Atmospheric Environment Research Division WMO, sangat mengapresiasi pengumpulan data yang dilakukan oleh Indonesia, karena menurutnya sangat penting dalam mewakili negara tropis yang mempunyai ciri khas paling aktif dan beresiko dibanding dengan negara lainnya.  

Workshop on GAW ini diikuti dari berbagai negara, seperti berasal dari Swiss, Amerika Serikat, Jepang, Malaysia, Cina, New Zealand, Australia dan Korea Selatan dan dihadiri pula oleh instansi yang terkait dengan pengamatan gas rumah kaca seperti KLHK, BAPPENAS, BATAN, IPB, ITB dan UGM serta stakeholder terkait. 

Suksesnya penyelenggaraan workshop membawa peluang Indonesia sebagai pusat pelatihan GAW di kawasan regional Asia yang didukung oleh instruktur nasional yang mumpuni dan dari para ahli internasional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement