Selasa 07 Aug 2018 19:12 WIB

Saat Warga Boto Kembali Mencari Penghidupan di Luar Desa

Umumnya lahan pertanian di desa ini merupakan lahan tadah hujan.

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Yusuf Assidiq
Kondisi embung Dusun Penggung, Desa Boto, Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang, yang telah mengering.
Foto: Bowo Pribadi.
Kondisi embung Dusun Penggung, Desa Boto, Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang, yang telah mengering.

REPUBLIKA.CO.ID, UNGARAN -- Wagiman (58 tahun), masih menikmati sisa teh tubruk buatan istrinya yang tinggal menyisakan beberapa kali seruputan saja saat sang keponakan, Sarpin (39) berlalu di hadapannya.

Ayo dhe, titip ngomah sek yo! (red. ayo pakde, titip keluarga di rumah dulu ya!),” ujar Sarpin, sambil menenteng gagang cangkul, yang menyembul dari dalam karung plastik eks kemasan pupuk kimia, Selasa (7/8).

Kendati harus menahan beban tas punggung saat membungkuk, Sarpin yang berperawakan kurus ini tetap berusaha menyalami Wagiman, yang kali ini cuma bercelana pendek dan bertelanjang dada.

Pria paruh baya yang sedari tadi sedang mengusir gerah di beranda rumahnya ini, lantas membalas permohonan diri keponakannya tersebut. “Ngati-ati nggonmu boro! (red. hati- hati selama mencari nafkah di luar),” katanya.

Tak lama berselang, Sarpin pun beranjak meninggalkan halaman menuju jalan desa dan mulai hilang dari pandangan Wagiman.

“Keponakan saya itu sementara akan boro, mencari penghidupan di luar desa,” ungkap warga Dusun Krajan, RT 02/ RW 07, Desa Boto, Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, tersebut.

Ia mengungkapkan, apa yang dilakukan Sarpin sudah jamak dilakukan oleh  sebagian warga Desa Boto, setiap musim kemarau. Karena umumnya lahan pertanian di desa ini merupakan lahan tadah hujan.

Akibatnya, pertanian di wilayah Desa Boto banyak yang tidak produktif. Sehingga untuk menyambung hidup para petani sementara mencari penghidupan di luar desa, bahkan hingga luar daerah.

Ada yang menjadi buruh tani di daerah lain, menjadi kuli bangunan atau menjadi tenaga serabutan. Warga yang boro ini, biasanya akan kembali untuk mengolah tanah mereka setelah memasuki musim penghujan.

“Kalau tidak begtu, mereka tidak bisa ‘makan’. Karena musim kemarau merupakan masa paceklik bagi pertanian di desa kami,” jelas Wagiman, sambil menyeruput tehnya.

Sulimah (64), warga lainnya menuturkan, dua dari tiga anaknya, yang biasanya ikut membantu mengolah lahan pertanian, sudah tiga pekan ini boro, untuk bekerja menjadi tenaga bangunan di Jakarta.

Selain agar bisa mengirim uang untuk kebutuhan hidup bagi keluarga di Desa Boto, biasanya mereka juga mengumpulkan uang untuk persiapan bercocok tanam setelah musim penghujan tiba.

“Selama bekerja di Jakarta, kedua anak saya juga mengumpulkan uang untuk keperluan membeli benih maupun pupuk saat kami kembali ke sawah nanti,” jelasnya.

Untuk saat ini, lanjut Sulimah, pertanian di Desa Boto dan beberapa desa lainnya di Kecamatan Bancak untuk sementara banyak yang berhenti dan tidak berproduksi.

Hal ini diamini oleh Kepala Desa (Kades) Boto, Sjaichul Hadi. Menurutnya, sebagian lahan pertanian di Desa Boto sudah mengalami penurunan produktivitas jelang bulan Ramadhan lalu.

Karena air irigasi yang tersisa terus menyusut debitnya. Memasuki bulan Ramadhan, warga desanya masih bisa mengupayakan dengan menanam tanaman palawija, khususnya jagung.

Namun, setelah masa panen jagung berlalu, praktis aktivitas pertanian di Desa Boto ini banyak yang terhenti. “Inilah masa, para petani untuk sementara beralih profesi,” tambahnya.

Sebagai wilayah langganan kekeringan di Kecamatan Bancak, lanjut Sjaichul, Pemerintah Desa Boto telah mengupayakan bantuan pembangunan sumur pantek. Bahkan di desanya juga sudah dibangun dua embung untuk pertanian.

Masing-masing embung 40 x 30 meter persegi yang dibangun Dusun Penggung pada 2007 dan embung 25 x 30 meter persegi, yang dibangun pada 2009 yang di Dusun Boto.

Infrastruktur pertanian tersebut memang dibangun untuk menampung air hujan, agar dapat dimanfaatkan bagi pertanian pada saat musim kemarau, seperti sekarang ini.

Sebab dari total 152 hektare lahan pertanian tadah hujan, 90 persen di antaranya atau sedikitnya 130 hektare lahan pertanian tersebut sangat mengandalkan irigasi dari kedua embung ini.

Namun, embung ini juga telah mengering. Bahkan sebelum embung-embung tersebut mengering akhir bulan Juni lalu, sejumlah petani sudah menghentikan aktivitas pertaniannya.

“Mereka memilih mencari penghidupan ke luar daerah karena sudah tidak bisa lagi bercocok tanam di sawah maupun di ladang masing-masing, akibat dampak musim kemarau ini,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement