REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI), Din Syamsuddin mengatakan, dalam proses demokrasi di Indonesia para ulama memiliki hak untuk berkumpul dan memutuskan pandangannya. Namun, kata dia, yang tidak boleh adalah ketika memiliki kecenderungan monopolistik.
"Yang tidak baik itu adalah kecenderungan monopolistik. Jangan memonopoli jalan ke surga, surga itu milik semua orang-orang beriman dan orang-orang yang berjuang untuk kepentingan masyarakat," ujar Din saat ditemui usai Rapat Pleno ke-29 Wantim MUI di Kantor MUI, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, Senin (6/8).
Menurut Din, sesungguhnya Pemilu merupakan jalan beradab untuk mencapai cita-cita dan menghindari ketidakadaban. Karena itu, Din mengajak kepada semua tokoh untuk berperan mempersatukan masyarakat, bukan dengan memonopoli. "Jangan sampai berubah menjadi Pemilu sebagai jalan ketidakadaban, apalagi kebiadaban. Ini perlu peran dari tokoh-tokoh masyarakat untuk mempersatukan, perlu visi-visi kenegarawanan," ucapnya.
Dia menjelaskan, dalam menghadapi agenda demokrasi khususnya Pileg maupun Pilpres 2019, masyarakat sebenarnya sudah sangat berpengalaman. Karena itu, dia mengajak masyarakat menempuhnya sebaiknya mungkin dengan rasa tanggung jawab. "Namun tidak perlu perbedaan kepentingan calon pada Pemilu itu kemudian merusak persaudaraan baik sesama Muslim maupun anak-anak bangsa," kata Din.
Di tempat yang sama, Sekjen MUI Anwar Abbas manambahkan, setiap orang memiliki pendapat dalam proses demokrasi Indonesia. Namun, kata dia, jika terjadi perbedaan pendapat, pihaknya berharap agar masyarakat bersikap toleran. "Harus ada toleransi, harus ada saling mengerti, supaya yang namanya persatuan dan kesatuan tidak terkoyak. Oleh karena itu kita mengimbau supaya masalah kebersamaan kesatuan dan persatuan harus lebih dikedepankan daripada kepentingan kelompok atau partai," jelasnya.