REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Mahkamah Konstitusi (MK) mengirimkan surat keberatan kepada Ketua Umum Partai Hanura, Oesman Sapta Odang (OSO) atas pernyataannya yang dinilai merendahkan hakim MK. MK minta OSO segera merespons surat keberatan tersebut.
Sekretaris Jenderal MK, Guntur Hamzah, mengatakan surat keberatan itu dikirimkan ke OSO pada Selasa (31/7). Surat tersebut merupakan respons para hakim MK terkait pernyataan OSO dalam acara yang ditayangkan secara live di salah satu stasiun televisi nasional, pada Kamis (26/7) pagi.
"Surat yang kami kirimkan itu berdasarkan hasil permusyawatan majelis hakim MK pada Senin (30/7). Langkah berkirim surat ini kami ambil setelah mendengar rekaman (dari acara televisi) secara utuh. Kami menyatakan sikap bahwa tindakan, ucapan dan perbuatan beliau (OSO) dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang merendahkan MK," ujar Guntur dalam konferensi pers di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (31/7) sore.
Guntur mengklaim jika surat dari MK itu telah diserahkan dan diterima oleh OSO. "Kami tunggu respons beliau atas surat keberatan yang sudah kami kirim. Kami melihat respons beliau dulu seperti apa, baru kami nanti akan menentukan sikap selanjutnya," lanjut Guntur.
Pihaknya sangat menyayangkan pernyataan OSO yang menyebut MK dengan istilah 'goblok'. Guntur menilai semestinya seorang pejabat publik tidak menyampaikan pesan seperti itu kepada masyarakat. Terlebih, OSO juga masih menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
"Ini akan menjadi informasi yang tidak baik di mata masyarakat. Pesan seperti ini merendahkan martabat hakim MK. Seharusnya beliau tidak sampaikan hal itu," tegasnya.
Sebelumnya, saat sedang live di salah satu televisi nasional pada 26 Juli lalu, OSO menyatakan menolak putusan MK yang melarang pengurus parpol menjadi anggota DPD. "MK itu goblok," demikian petikan pernyataan tersebut.
Pada 23 Juli, MK memutuskan mengabulkan permohonan uji materi atas pasal 128 huruf I UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Ketua MK, Anwar Usman, dalam putusannya menyatakan mengabulkan permohonan uji materi atas nama Muhammad Hafidz itu secara keseluruhan.
"Mengabulkan permohonan untuk seluruhnya," kata Anwar Usman saat membacakan putusan di Gedung MK.
Menurut MK, pasal 182 huruf I tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan inkonstitusional. Pasal itu menyebutkan bahwa calon anggota DPD tidak boleh memiliki 'pekerjaan lain'.
Adapun pekerjaan lain yang dimaksud yakni tidak melakukan praktik sebagai akuntan publik, advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah dan/atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara, serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang atau hak sebagai anggota DPD.
Hakim MK, I Gde Dewa Palguna, dalam pertimbangan putusannya menyebutkan bahwa frasa 'pekerjaan lain' harus mencakup makna pengurus parpol. "Maka, Mahkamah penting untuk menegaskan bahwa pengurus adalah mulai dari pusat sampai paling rendah sesuai struktur organisasi parpol," tegasnya
Atas putusan MK ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan akan menjalankannya dengan melakukan perubahan atas syarat pencalonan anggota DPD. Perubahan itu menyasar Peraturan KPU (PKPU) Nomor 14 Tahun 2018 tentang pencalonan anggota DPD.
"Kami memutuskan untuk melakukan revisi atas PKPU pencalonan anggota DPD, sebagai tindak lanjut putusan MK," ujar Komisioner KPU, Hasyim Asy'ari, pekan lalu.