Selasa 31 Jul 2018 05:09 WIB

Islam Indonesia: Menjadi Buih, Bersatu atau Terseret Politik

Jika Islam terus dibenturan maka jadilah perang besar dan non muslim pun ikut merugi.

Ribuan umat Islam mengikuti aksi super damai 212 di Lapangan Monas, Jumat (2/12).
Foto:
Masjid Raya Zagreb, Kroasia.

Perasaan paradoks saya hinggapi ketika berada di Italia, pinggiran Jerman, hingga negara-negara Balkan. Kami bertemu dengan pemeluk Islam yang ramah. Tapi saya melihat dan mengalami langsung bagaimana phobia terhadap Islam tampak nyata.

Di Slovenia, saya misalnya pernah mengalami menjadi tontonan saat shalat. Padahal saya sudah berusaha sempat sembunyi di sebuah beranda restoran Turki. Tapi celakanya ada yang tahu dan kemudian banyak yang menonton dan merekam melalui video. Di negara lain, Croatia saya shalat di gudang sebuah restoran bercampur kardus makanan.

Tapi untunglah meski sering dianggap dan merasa 'orang alien', orang Islam --para pekerja kasar, penjaga gerai dan restoran, dan kaum imigran-- ringan hati menolong saya.''Anda adalah saudara saya karena anda Muslim." Mereka selalu antusias mencarikan tempat saya untuk shalat.

Celakannya, lazimnya ketika saya pulang dan tiba di Bandara Soekarno Hatta, perasaan yang tadinya campur aduk, malah semakin sedih. Setiap kali melewati pintu bandara untuk menghirup kembali udara dan menginjak kembali tanah Indonesia, saya sering merasa kecewa. Pikiran saya melayang dan mengucap selalu lirih: Negeriku seharusnya bukan seperti ini!

Saya makin ketakutan melihat kenyataan politik di negeri Indonesia melumat segalanya. Apalagi setelah mendengar pernyatan, harapan, sekaligus nasihat Prof Abdul Hadi WM itu:"Saya mengharap Islam (yang ada tanah) Arab tidak dibentur-benturkan dengan Islam (yang ada di) Nusantara, pun dengan yang ada di Iran, Turki, Afrika Utara, Xinjiang, Afghanistan, Pakistan, India, Bangladesh dll. Jika itu terjadi maka jadilah perang besar berkobar dan dunia non-Muslim juga akan menangggung akibatnya.

Sudahkah Islam Indonesia terseret terlalu jauh pada arus politik di tahun politik jelang pilpres? Ataukah sekedar jadi buih di lautan tanpa bisa mencapai satu kesepemahaman? Wallahu alam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement