Senin 30 Jul 2018 15:08 WIB

Tak Bisa Tanam Padi, Warga Banyumas Makan Nasi Tiwul

Warga Banyumas juga mengalami krisis air bersih.

Rep: Eko Widiyatno/ Red: Nur Aini
Nasi tiwul, ilustrasi
Foto: Tokopedia
Nasi tiwul, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, BANYUMAS -- Kemarau yang sudah berlangsung sejak dua bulan lalu, menyebabkan sebagian warga yang tinggal di daerah kering Kabupaten Banyumas mengalami kesulitan bahan pangan, khususnya beras. Warga yang mengalami kondisi tersebut berada di Dusun Wanarata, Desa Kalitapen Kecamatan Purwojati Kabupaten Banyumas.

''Sawah di desa kami, merupakan sawah tadah hujan yang hanya bisa ditanam dengan padi gogo. Pada musim kemarau ini, sawah sudah tidak bisa ditanam. Karena itu, sebagian warga kami sudah tidak lagi memiliki stok beras,'' kata Kepada Dusun Wanarata, Karto, Senin (30/7).
 
Untuk itu, kebanyakan warga menyiasati kondisi tersebut dengan memakan nasi dan oyek atau tiwul, secara berselang-seling. ''Pagi dan malam makan nasi, sedangkan siang makan tiwul,'' katanya.
 
Dia menyatakan, jumlah warga yang tinggal di wilayah dusunnya mencapai sekitar 450 kepala keluarga atau 2.000 jiwa. Namun dari jumlah itu, lebih dari separuh warganya merupakan warga miskin yang mengandalkan kebutuhan hidupnya dari hasil pertanian. 
 
''Kalau musim penghujan, warga menanam sawahnya dengan padi gogo. Sedangkan bila musim kemarau seperti sekarang, kebanyakan warga hanya bisa mengandalkan pendapatan dari menderes nira kelapa,'' katanya.
 
Dalam kondisi seperti itu, pendapatan yang mereka peroleh tidak lagi mencukupi bila harus makan nasi tiga kali sehari. Pendapatan sebagai penderes nira yang hanya rata-rata Rp 20 ribu per hari setelah diolah menjadi gula jawa, tidak mencukupi untuk memenuhi segala kebutuhan hidup mereka.
 
''Dengan pendapatan Rp 20 ribu per hari, banyak keluarga mematok untuk beli beras tidak boleh lebih dari 1 kg per hari. Kalau kurang ya makan nasi oyek,'' katanya.
 
Dalam kondisi seperti itu, Karto menyebutkan, warga masih dihadapkan pada masalah kesulitan air bersih. Menurutnya, bila sedang tidak ada bantuan droping air dari BPBD Banyumas, warga harus mengambil air sejauh  4 kilometer di kawasan hutan jati Perhutani.
 
''Yang memiliki sepeda motor, bisa bolak-balik mengangsu (mengambil) dengan jirigen air dari sumber di kebun jati Perhutani. Tapi warga yang tidak punya sepeda motor, terpaksa harus jalan kaki,'' katanya.
 
Untuk itu, kata Karto,  warga dusunnya sangat mengandalkan droping air bersih dari BPBD. ''Namun tidak setiap hari, truk tangki BPBD memasok air ke dusun kami. Hal ini karena kondisi jalan memang cukup sulit, harus melalui melalui jalan sempit naik turun bukit,'' katanya.
 
Warsem (52 tahun), mengaku setiap musim kemarau memang menjadi masa sulit bagi keluarga dan kebanyakan tetangganya. ''Ibaratnya, musim paceklik. Selain beras hasil panen sudah habis, kami juga kesulitan untuk mendapat air bersih,'' katanya.
 
 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement