REPUBLIKA.CO.ID, Tepat sepekan jelang dibukanya masa pendaftaran pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) untuk Pilpres 2019, PKS melancarkan manuver politiknya. PKS mulai berani merencanakan pembentukan poros baru koalisi jika kesepakatan dengan Gerindra tak tercapai.
"Sedang kita rintis (poros baru) kalau tidak ada titik temu antara Gerindra dengan PKS. Ini kita antisipasi dengan poros keumatan, jadi masih dinamis," kata Direktur Pencapresan DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Suhud Aliyudin usai menghadiri sebuah diskusi publik di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (28/7).
Suhud mengungkapkan, PKS juga menjalin komunikasi dengan parpol yang telah menyatakan mendukung Joko Widodo (Jokowi) sebagai bentuk antisipasi bila partainya merasa tidak nyaman dengan keputusan yang dibuat Gerindra. Bahkan, kata dia, PKS sudah melakukan pertemuan dengan elite PKB.
Seperti diketahui, sebagai sekutu setia Gerindra, PKS tetap masih bisa kehilangan posisi cawarpres pada Pilpres 2019. Itu lantaran, Prabowo membuka ruang Partai Demokrat bergabung di mana syaratnya adalah menjadikan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai cawapres.
DPP PKS sudah pernah menegaskan, PKS akan tetap memperjuangkan kadernya menjadi cawapres. Anggota Majelis Syuro PKS, Tifatul Sembiring bahkan pernah berani menyatakan, koalisi PKS dengan Gerindra sebaiknya bubar apabila Prabowo tidak memilih cawapres dari PKS.
Keinginan PKS untuk mengirimkan kadernya bertarung ke Pilpres 2019 begitu kuat. Sebab, sudah selama lima tahun terakhir, PKS hanya bertindak sebagai 'penggembira' baik di tingkat nasional ataupun daerah, termasuk Jakarta.
Suhud melanjutkan, kebersamaan PKS dan Gerindra bukanlah harga mati. Untuk Pilpres 2019, PKS belum pasti akan berkoalisi dengan Gerindra.
"Jadi koalisi Gerindra-PKS pada Pilpres ini bukan harga mati bahwa kami harus dengan Gerindra atau harus dengan Prabowo. Kami tetap membuka opsi lain, dengan atau tidak dengan Pak Prabowo. Opsi ini terus kami intensifkan komunikasinya," ujarnya.
Komunikasi politik yang dimaksud oleh Suhud adalah dengan parpol yang masih mungkin 'membelot' dari kubu koalisi pendukung Joko Widodo (Jokowi). Dasarnya adalah, PKS menilai koalisi kubu Jokowi tak sesolid yang digembar-gemborkan.
Selain PKB, PKS juga terus melakukan komunikasi yang intensif dengan Golkar. "Jadi sebetulnya, nanti kalau misalnya Pak Jokowi memilih siapa wakilnya, kemudian ada partai-partai yang tidak nyaman kan ada kemungkinan lari. Nah ini yang akan kita tangkap," kata Suhud.
Suhud menegaskan, PKS segera menentukan sikapnya terkait koalisi dalam waktu dekat. Suhud mengatakan berdasarkan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) DPD PKS seluruh Indonesia, telah disampaikan bahwa DPD PKS mendesak kepastian terkait siapa capres dan cawapres yang akan diusung PKS di Pilpres 2019.
"Maka mereka mengatakan coba minta tanggapan tanggal 30 (Juli) sudah ada keputusan, dan insya Allah tanggal 30 bulan ini kemungkinan ada sikap resmi dari PKS terkait dengan koalisi. Bisa jadi lanjut atau tidak," kata Suhud.
Pada hari ini, Senin (30/7), Presiden PKS Sohibul Iman akan bertemu dengan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pertemuan tersebut diakui diinisiasi oleh Sohibul ketika dirinya bertemu dengan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syarief Hasan.
"Pak SBY setelah dikasih tahu Pak Syarief memilih hari Senin jam 19.00 WIB," katanya.
Tidak seperti pertemuan SBY dengan beberapa tokoh sebelumnya, rencananya pertemuan tersebut digelar di tempat yang netral. Namun, sebelumnya Sohibul sempat menawarkan ingin menjamu SBY di Kantor DPP PKS.
"Nah tempat itu saya yang minta kepada pak SBY. Selama ini saya selalu dijamu sama Pak SBY, kali ini kami ingin menjamu Pak SBY, kami tawarkan di DPP, beliau berkenannya di tempat netral," tuturnya.
Bisa jadi, setelah Sohibul bertemu dengan SBY, DPP PKS kemudian mengumumkan keputusan apakah akan tetap bersama koalisi Prabowo atau memilih hengkang dan merintis poros baru koalisi. Keputusan untuk sekaligus menjawab penilaian pengamat bahwa kondisi PKS saat ini terkunci di dalam koalisi untuk terus mendukung Prabowo.
Sebelumnya, pengamat politik dari Media Survei Nasional (Median) Rico Marbun menilai, langkah PKS jelang pendaftaran peserta Pilpres 2019 seolah terkunci setelah elite Prabowo, SBY, dan Zulkifli bertemu. PKS berada dalam kondisi yang mengharuskannya mendukung Prabowo.
"Yang digandeng duluan itu kan PAN (setelah elite Demokrat dan Gerindra bertemu). Kenapa tidak PKS duluan? Kalau Gerindra, Demokrat dan PAN itu sudah bergabung itu PKS enggak ada kemungkinan enggak ikut. Jadi terkunci langkahnya," kata dia kepada Republika.co.id, Rabu (25/7).
Dalam kondisi demikian, lanjut Rico, mau tak mau PKS akan ikut bergabung dengan koalisi yang dibangun Gerindra, Demokrat dan PAN. Namun, ini akan berbeda bila terus mengingatkan kembali Prabowo untuk memilih cawapres dari tokoh yang diajukan PKS.
"Jadi mau enggak mau PKS pasti ikut, kecuali PKS serius mencoba membangun lobi lagi atau mengingatkan kepada Prabowo akan janji-janjinya dulu," tutur dia.
Apalagi, Rico memandang, PKS selama ini selalu menunjukkan seolah partai tersebut amat bergantung dan menaruh kepercayaan yang berlebih kepada Gerindra. "Selama ini PKS terlalu sering mengkomunikasikan ketergantungan dan kepercayaannya terhadap Gerindra. Suasana ketergantungan PKS (kepada Gerindra) sangat terlihat," paparnya.
Baca juga:
- PKS Belum Tentu dengan Gerindra, Tapi Tolak ke Jokowi
- PKS Tanggung Biaya Kampanye Jika Kadernya Jadi Cawapres
- Ketidakpastian Capres Prabowo dan Pesan Habib Rizieq
Respons Gerindra
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menanggapi pernyataan Suhud Aliyudin yang mengatakan PKS berencana membentuk koalisi baru apabila tidak menjadi cawapres. Menurut Fadli, hal tersebut masih belum dibicarakan.
"Saya kira belum ada pembicaraan itu karena kami semua harus duduk dululah ya, supaya bisa merundingkan," kata Fadli, di Kebayoran Baru, Ahad (29/7).
Fadli mengatakan, masalah cawapres harus dibicarakan secara keseluruhan. Ia mengatakan, semua partai koalisi Gerindra, yakni PKS dan PAN, harus saling melakukan diskusi sehingga semua pihak dapat memenuhi kepentingan masing-masing.
Selain itu, ia menambahkan, pernyataan tersebut sebagai suara individu. “Jadi kalau itu masih suara individu dan narasi saya kira itu bukan mencerminkan suara partai," kata Fadli.
Pertemuan Politik Jokowi Vs Prabowo