Ahad 29 Jul 2018 01:00 WIB

Ulama, Penjara, dan Penguasa

Negara tidak usah risau ketika banyak anak bangsa mengidolakan ulama tertentu...

Salamun
Foto: dok. Pribadi
Salamun

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Salamun*)

 

Sistem kenegaraan paling ideal adalah masa kepemimpinan Rasulullah Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin. Rasulullah SAW membuat Piagam Madinah yang oleh Prof Jimly Ash-Shiddiqy disebut sebagai konstitusi tertulis pertama dimuka bumi yang menjamin keberlangsungan pluralitas bangsa. 

Dengan Piagam Madinah Rasulullah SAW menjamin keberlangsungan tata kehidupan yang pluralis bahkan soal kebebasan keyakinan (agama) sekalipun. Meskipun demikian tidak ada referensi shahih satupun yang menyebut apa yang dibangun oleh Rasulullah Muhammad SAW sebagai negara Islam. 

Pasca Kepemimpinan Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin hingga kini eksistensi ulama menjadi vis a vis dengan kekuasaan (umara). Keberadaan ulama menjadi sangat penting sebagai kekuatan penyeimbang untuk memastikan proses check and balances berjalan dengan baik karena pada hakikatnya kekuasaan adalah cenderung korup. Sebagaimana adagium yang dikemukakan oleh Lord Acton Guru Besar Sejarah Modern Universitas Cambridge Inggris “Power tends to corrupt”.

Arti penting keberadaan ulama tidak saja saat berada dalam sebuah sistim kenegaraan yang sekuler, bahkan ketika ulama-ulama besar sebut saja misalnya empat imam mazhab menjadi berhadapan dengan kekuasaan persisnya dimusuhi oleh negara (pemerintah).

Imam Abu Hanifah meninggal dunia pada bulan Rajab 150H/767M (ketika berusia 68 tahun), yakni ketika berada di dalam penjara disebabkan termakan makanan yang diracuni orang. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau dipukul dalam penjara sehingga mati. Kematian tokoh ilmuan Islam ini amat dirasakan oleh dunia Islam. Shalat jenazahnya dilangsungkan 6 kali, setiap didirikan oleh hampir 50 ribu orang jamaah. 

Imam Malik pernah dihukum oleh Gubernur Kota Madinah pada tahun 147H/764M karena telah mengeluarkan fatwa bahwa hukum thalaq yang coba dilaksanakan oleh kerajaan Abbasid sebagai tidak sah. Kerajaan Abbasid ketika itu telah membuat fatwa sendiri bahwa semua penduduk perlu taat kepada pemimpin dan barangsiapa yang enggan akan terjatuh thalaq ke atas isterinya. 

Dalam usahanya untuk menutup jurang perbedaan antara ajaran Imam Malik bin Anas dan Imam Abu Hanifah, Imam As-Syafi’ie menghadapi banyak tantangan dari para pengikut Mazhab Maliki. Pada satu malam, dalam perjalanan balik ke rumah dari kuliah Maghribnya di Mesir, Imam As-Syafi’ie telah diserang dan dipukul orang sehingga menyebabkan kematiannya. 

Imam Ahmad bin Hanbal pernah hidup di dalam penjara karena kekerasannya menentang Mazhab Mu’tazilah yang diterima oleh pemerintah Abbasid ketika itu. Mereka (pemerintah) memaksa Imam Ahmad mengesahkan mazhab baru tersebut. Imam Ahmad enggan dan ini menyebabkan beliau dirotan di dalam penjara sehingga tidak sadarkan diri. 

Menyimak apa yang terjadi atas diri para imam mazhab tentu penjara dan ‘serangan’ dari pihak pemerintah terhadap ulama bukanlah sesuatu yang baru. Penjara bahkan  kematian sebagai konsekuensi mempertahankan atas apa yang diyakini sebagai sebuah kebenaran tentu akan lebih terhormat daripada menjadi ulama “plat merah” yang selalu melegitimasi seluruh kebijakan negara tanpa reserve.

Kementerian Agama beberapa waktu yang lalu merekomendasikan 200 ulama yang memenuhi tiga kriteria yakni mempunyai kompetensi keilmuan agama yang mumpuni, reputasi yang baik, dan berkomitmen kebangsaan yang tinggi. (baca: Ini Daftar Ustaz Rekomendasi Kemenag, tak Ada Ustaz Somad, Republika.co.id, 18 Mei 2018). 

Dirilisnya 200 ulama atau bahkan 200 ribu sekalipun tidak memberi manfaat apapun kecuali melebarkan jurang perpecahan yang mestinya menjadi tugas negara (pemerintah) dalam hal ini Kementerian Agama untuk meminimalisasi berbagai potensi perpecahan ummat tersebut. 

Dirilisnya daftar ulama “tandingan” dan disusul belakangan ini dengan munculnya daftar ulama yang berhaluan manhaj dan mazhab (pandangan keagamaan) tertentu sejatinya mengonfirmasi tentang adanya polarisasi yang mengarah kepada pertentangan antar kelompok ummat yang tidak produktif.

Biarlah status ulama mengalir sesuai sunnatullah dan biarkan rakyat menentukan pilihannya untuk berguru, belajar kepada siapa yang mereka kehendaki. Masyarakat (ummat) sudah sangat cerdas untuk menentukan siapa yang dapat dijadikan panutan.

Negara tidak usah risau ketika banyak anak bangsa mengidolakan ulama tertentu yang menurut penilaian subjektif pemerintah dipandang sebagai ulama “radikal”, anti kebangsaan dan semacamnya yang sangat boleh jadi tuduhan yang demikian sama sekali tidak memiliki dasar apapun kecuali dianggap mengancam kepentingan (politik) sang tuan.

Saatnya kita bersikap lebih tasamuh (saling menghargai) atas perbedaan pandangan keagamaan yang beragam, meskipun meyakini apa yang difahami dan diamalkan sebagai sebuah kebenaran akan tetapi tidak arif jika kemudian menyalahkah kelompok orang lain yang tidak satu mazhab dan manhaj. Sepanjang syahadat dan kitab sucinya sama, maka tidak sepatutnya kita saling mencela dan menghujat.

Apa yang ingin saya tegaskan ialah bahwa ulama tidak harus selalu berhadapan dengan negara (pemerintah), akan tetapi terhadap kekuasaan yang zalim secara parsial dan apalagi secara totalitas maka keberadaan ulama dan kaum intelektual untuk menegur, mengingatkan dan menjadi kekuatan penyeimbang adalah sebuah keniscayaan sejarah agar sebuah bangsa tidak terkubur dalam jurang kecerobohannya dalam membangun sebuah peradaban. Wallahu a’lam bish-shawab.

*) Mahasiswa Program Doktor UIN Raden Intan Lampung, Dosen STMIK dan STIT Pringsewu, email: [email protected]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement