REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar membantah kualitas udara di DKI Jakarta buruk. Menurut Siti, metode pengukuran kualitas udara dan peralatan pengukuran juga menyebabkan perbedaan hasil dalam pengukuran kondisi udara.
"Kalau sekarang dibilang udara di Jakarta buruk dan waspada, menurut saya itu agak aneh karena musti lihat dia pakai metode apa mengukurnya," kata Siti ditemui di Jakarta pada Jumat (27/7) terkait isu kualitas udara Jakarta yang menempati posisi ketiga terburuk di dunia.
Sejumlah pemberitaan di media daring yang mengutip data airvisual menyebutkan pada kondisi udara di Jakarta pada Kamis (26/7) tercatat menjadi ketiga yang terburuk di dunia. Sementara itu, penelusuran Antara di laman airvisual.com pada Jumat (27/7), kondisi udara Jakarta berada pada posisi ke-8 dengan 117 AQI (Indeks Kualitas Udara).
Selain itu, WALHI menyampaikan KLHK perlu memperketat standar baku mutu udara dengan mengikuti standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Baku Mutu Udara Ambien tercantum pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1999, di mana pengetahuan medis tentang pencemaran udara saat ini telah bertambah.
Ambang batas yang digunakan oleh KLHK untuk partikulat debu halus PM2.5 dalam durasi waktu 24 jam adalah 65 mikrogram per m3, di mana ambang batas aman yang digunakan oleh WHO adalah 25 mikrogram per m3.