REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dede Yusuf menyebut masalah defisit yang tengah dialami Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai pengelola Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) bukanlah karena kurangnya iuran. Menurut Dede, masalah defisit yang dialami BPJS Kesehatan hingga Rp 9 triliun karena hitungan aktuaria atau harga keekonomian iuran JKN-KIS.
"Kalau berbicara aktuaria menurut Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Kementerian Kesehatan, angka hitungan aktuaria peserta jaminan kesehatan nasional-kartu Indonesia sehat (JKN-KIS) kelas III per orang setiap bulannya yaitu sekitar Rp 35 ribu hingga Rp 40 ribu. Padahal yang dibayar kan baru di angka Rp 23 ribu hingga Rp 25 ribu per bulan," ujarnya saat dihubungi Republika, Jumat (27/7).
Persoalan ditambah dengan iuran kelas III yang belum mengalami penyesuaian iuran dan mengambil porsi terbesar. Ini termasuk penerima bantuan iuran (PBI) sekitar 92 juta jiwa yang rencananya akan ditambah pemerintah menjadi 107 juta jiwa.
Namun, seiring dengan ditambahnya peserta PBI, kata dia, angka iuran yang ditetapkan hanya Rp 23 ribu padahal idealnya di kisaran Rp 35 ribu. Artinya, kata dia, ada defisit Rp 12 ribu per PBI. Ia menyebutkan apabila berbicara premi PBI untuk mengejar hitungan aktuaria maka harusnya pemerintah siapkan dana Rp 35 triliun.
"Sedangkan pemerintah hanya punya uang Rp 25 triliun. Berarti darimana Rp 10 triliun kekurangan yang akan ditambahkan? Ujung-ujungnya faktor keuangan," ujarnya.
Kendati demikian, ia meminta pemerintah tetap harus bertanggung jawab. Ia menegaskan pemerintah harus menyiapkan dana talangan untuk membayar iuran PBI sesuai hitungan aktuaria.
Kalau PBI sudah mendapat dana talangan iuran PBI sesuai hitungan aktuaria, kata dia, peserta kelas III mandiri atau umum bisa saja mengikuti penyesuaian iuran. Menurutnya, perbandingan kenaikan iuran sama saja seperti mengurangi dua bungkus rokok sebulan atau seharga dua mangkok bakso demi kesehatan.
"Tapi tolong jangan dilihat apakah masyarakat mau premi atau iuran kelas III naik tapi pemerintah dulu yang bertanggung jawab dalam mengurusi kesehatan masyarakatnya," katanya.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan per 25 Juli 2018 tidak menjamin atau menanggung tiga pelayanan kesehatan, yaitu katarak, persalinan bayi yang lahir sehat, dan rehabilitasi medik. Kepala Humas BPJS Kesehatan, Nopi Hidayat, membenarkan, per Rabu (25/7), BPJS Kesehatan menerapkan beberapa implementasi.
"Pertama, Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Katarak Dalam Program Jaminan Kesehatan, kedua Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan Dengan Bayi Lahir Sehat, dan ketiga Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 5 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik," kata Nopi saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (27/7).
Ia menambahkan, terbitnya peraturan ini mengacu pada ketentuan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Khususnya, tutur dia, Pasal 24 Ayat 3 yang menyebutkan, BPJS Kesehatan dapat mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas jaminan kesehatan.
Jadi, kata dia, kebijakan tiga peraturan itu dilakukan agar peserta program JKN-KIS memperoleh manfaat pelayanan kesehatan yang bermutu, efektif, dan efisien. "Hal ini dilakukan sebagai tindak lanjut dari Rapat Tingkat Menteri awal tahun 2018 yang membahas tentang sustainibilitas Program JKN-KIS di mana BPJS Kesehatan harus fokus pada mutu layanan dan efektivitas pembiayaan,” ujarnya.