REPUBLIKA.CO.ID, PURWAKARTA -- Perdebatan di kalangan elite menjelang Pilpres 2019, menuai kritikan. Salah satunya datang dari Ketua DPD Golkar Jabar, Dedi Mulyadi. Mantan Bupati Purwakarta dua periode ini, menilai perdebatan tersebut tidak mencerminkan kedewasaan serta tak mencerdaskan masyarakat. Sebab, perdebatan tersebut dilatarbelakangi perasaan.
"Jadi elite yang berdebat ini, hanya menyuguhkan perasaan yang dialaminya saja. Tidak ada unsur mendidiknya untuk masyaraka," ujar Dedi, kepada Republika.co.id, Jumat (27/7).
Berbeda dengan debat para elite zaman old, ketika para founding father membentuk negara ini. Saat itu, para elite berdebat dengan beradu argumen. Masing-masing pihak memiliki konsep pemikiran yang bisa dipertanggungjawabkan.
Meskipun sering berdebat, para elite zaman dulu masih bisa bersilaturahim, minuk kopi bersama dan duduk sambil merumuskan tentang perjalanan bangsa ini. Tetapi, saat ini sangat berbeda. Banyak elit yang baperan. Sehingga, perdebatannya hanya menyuguhkan apa yang dia rasakan saja. Jelas, ini tidak mencerminkan kedewasaan para elite tersebut.
"Melihat debat elite di tingkat atas saat ini, layaknya seperti nonton drama percintaan atau drama Korea," ujar Dedi.
Menurut Dedi, seharusnya ada silang wacana mengenai pengalaman ideologi bangsa. Lalu, diimplementasikan pada program nyata. Sehingga, masyarakat sangat merasakan program tersebut.
Termasuk, soal partai. Masuk tidaknya satu partai ke dalam koalisi pemerintahan, harus diarahkan pada pertimbangan politik kenegaraan dan kebangsaan. Suka atau tidak suka, dasarnya pada program kerja masing-masing.
Bukan dasarnya pada nalar perasaan pimpinan partainya. Sebab, bila pimpinan partainya baperan, ini bisa menjadi kemunduran kehidupan politik secara nasional. Dengan begitu, masyarakat tidak akan teredukasi mengenai politik. Justru, yang ada akan banyak masyarakat yang saling bully, saling mengejek satu sama lain, akibat terbawa suasana politik perasaan para elite.