Rabu 25 Jul 2018 09:53 WIB

Alasan Inalum Cari Utang ke Bank Asing demi Beli Freeport

Inalum membeli 51 persen saham Freeport senilai 3,85 miliar dolar AS.

Rep: Intan Pratiwi/Iit Septyaningsih/Antara/ Red: Andri Saubani
Penandatanganan Divestasi Saham Freeport. Direktur Utama PT Inalum Budi Gunadi Sadikin (kedua kanan) bersama CEO Freeport-McMoran Inc Richard Adkerson (kedua kiri) menandatangni perjanjian divestasi saham PT Freeport Indonesia disaksikan Menkeu Srri Mulyani (kiri) serta Menteri BUMN Rini Soemarno di Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (12/7).
Foto: Republika/ Wihdan
Penandatanganan Divestasi Saham Freeport. Direktur Utama PT Inalum Budi Gunadi Sadikin (kedua kanan) bersama CEO Freeport-McMoran Inc Richard Adkerson (kedua kiri) menandatangni perjanjian divestasi saham PT Freeport Indonesia disaksikan Menkeu Srri Mulyani (kiri) serta Menteri BUMN Rini Soemarno di Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (12/7).

REPUBLIKA.CO.ID, PT. Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) sepenuhnya akan membiayai divestasi 51 persen saham Freeport Indonesia dengan memakai pinjaman. Inalum mencari pinjaman dana luar dengan bunga yang murah.

"Kita cari bunga yang murah," ujar Direktur Keuangan Inalum, Orias Petrus Moerdak di Gedung DPR RI, Senin (23/7).

Sesuai kesepakatan pokok-pokok perjanjian (head of agreement/HoA) yang ditandatangani pada 12 Juli 2018, Inalum akan membeli saham divestasi Freeport senilai 3,85 miliar dolar AS. Perinciannya, sebanyak 3,5 miliar dolar AS dialokasikan untuk pembayaran hak partisipasi Rio Tinto di Freeport dan sisanya 350 juta dolar AS untuk membeli saham Indocooper di Freeport.

Setelah perjanjian HoA ditandatangani Inalum, Freeport McMoran Inc, dan Rio Tinto, langkah yang dilakukan adalah melaksanakan perjanjian pengikatan jual beli atau sales and purchase agreement (SPA) dan shareholder agreement atau perjanjian pemegang saham.

Orias menjelaskan, saat ini pihaknya sudah memulai pembahasan dengan beberapa bank yang menyatakan minat untuk memberikan pinjaman. Ada dua indikator yang dijadikan pegangan oleh Inalum. Pertama, pinjaman harus berasal dari aliran dana luar negeri. Kedua, bunga yang ditawarkan harus rendah. Aliran dana dari luar negeri yang dimaksud oleh Orias adalah dana dari luar yang masuk ke Indonesia.

Langkah ini diambil selain karena untuk menjaga likuiditas dan kurs juga untuk memudahkan transaksi. "Proses pembiayaan supaya lebih sistematis saja. kita bicara pada bank bank. ya sekitar sebelas. kemudian, bunga kita cari murah. Nggak urusan BUMN atau bukan. yang penting dananya asing. Jadi dana luar masuk ke dalam," ujar Orias.

Setelah mendapatkan dari Bank mana saja yang bersedia memenuhi dua syarat inalum tersebut, Orias mengatakan bank bank tersebut akan menggunakan skema sindikasi. Skema sindikasi ini, kata Orias, nantinya akan menetapkan bunga dan tenor yang sama mengenai pinjaman.

"Ya, sindikasi. Walaupun banyak, tapi satu term dan bunganya sama," ujar Orias.

Langkah menggunakan bank asing ini, kata Orias, selain memudahkan transaksi menggunakan dolar, ke depan penggunaan aliran dana asing untuk tidak mengganggu neraca pembayaran. "Transaksi kan dolar AS, logikanya saya akan lebih murah kalau saya pinjamnya dolar," ujar Orias

Direktur Utama PT. Indonesia Asahan Alumunium (Inalum), Budi Gunadi Sadikin menjelaskan, untuk bisa mendapatkan dana buat membayar divestasi Freeport, Inalum tidak memerlukan menyerahkan agunan apa pun kepada pihak ketiga. Tak hanya itu, Budi mengklaim, banyak bank yang menawarkan pinjaman dengan bunga yang kompetitif.

"Pinjamannya pinjaman bank dan sampai sekarang kita sih enggak ada jaminannya. Kita dapatin dan bunganya sangat kompetitif," ujar Budi di DPR, Senin (23/7) malam.

Budi mengakui, keputusan untuk mendanai sepenuhnya proyek divestasi ini dengan utang ke bank adalah demi menjaga ekuitas perusahaan. Budi menjelaskan, selain akan banyak investasi ke depan yang memerlukan dana, untuk bisa melakukan pinjaman, perusahaan juga perlu mempunyai kondisi keuangan yang sehat.

"Kalau misalnya banknya meminta Inalum kan sekarang kan punya sekitar Rp 20 triliun cash. Jadi sekitar 1, sekian miliar USD. Tapi kalau buat teman-teman yang memahami transaksi akuisisi kalau makin sedikit equity-nya makin tinggi arm and arm-nya," ujar Budi.

Head of Corporate Communication and Government Relations Inalum Rendi Witular menjelaskan, pendanaan melalui bank asing tentu akan lebih memudahkan proses selanjutnya yang dilakukan pihak terkait dalam divestasi saham Freeport.

"Ini transaksinya nanti akan dilakukan di luar, dalam bentuk dolar AS. Pendapatan Inalum dan PTFI juga dalam bentuk dolar, sehingga sama sekali tidak mengganggu nilai tukar rupiah," kata dia.

Meski tidak menyebutkan jumlah bank asingnya, namun Rendi mengklaim, sudah banyak bank asing menyatakan ketertarikannya. Itu menandakan potensi bisnis tambang Grasberg sangat besar.

"Ada banyak keterlibatan bank asing, memberikan optimisme bahwa potensi bisnis tambang Grasberg besar. Kalau jelek, tidak mungkin bank asing masuk," kata Rendi.

photo
Upaya Mengakuisisi Freeport

Bank nasional tak terlibat

Ketua Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) Maryono menyatakan, kemungkinan besar bank anggota Himbara lainnya yaitu Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), serta Bank Negara Indonesia (BNI) tidak ikut dalam pembiayaan divestasi saham Freeport oleh Inalum.

"Alasannya, supaya ada uang masuk mengalir dari negara-negara lain. Ini menambah devisa kita," jelasnya.

Lebih lanjut, kata dia, Kementerian BUMN pun telah mengarahkan hal tersebut. "Ini dari Deputi BUMN langsung yang berikan arahan," tambah Maryono.

Direktur Utama Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo kepada wartawan di Jakarta, Kamis, (19/7), menjelaskan, kesempatan membiayai akusisi tersebut lebih baik diberikan dulu kepada bank asing. Karena untuk bank lokal, mendapatkan dana dengan nilai sebesar itu, serta tenor seperti sekarang tak mudah.

Selain itu, kata ia, bila sumber dananya dari dalam negeri, dikhawatirkan malah mengganggu kebutuhan dalam negerinya. "Jadi memang kita menyampaikan, bank asing mungkin diprioritaskan dulu," katanya.

Ia mengungkapkan, semua bank di Indonesia saat ini masih akan mengerem kredit valas. Hal itu karena, LDR valas di semua bank naik.

"Otomatis itu ke depan kemampuan kita untuk mendanai proyek valas memang akan sedikit terkendala," ujar Tiko.

Ia mengaku, sebelumnya Bank Mandiri memang sempat melakukan pembicaraan awal dengan Inalum terkait pembiayaan akuisisi PTFI. Hanya saja belum sampai ke tahap penawaran.

"Jadi dari Inalum pun belum ada pengajuan," tegasnya.

Direktur Utama BNI Achmad Baiquni pun menyatakan, perbankan asing akan lebih berpeluang untuk menyalurkan kredit ke Inalum guna membeli 51 persen saham Freeport Indonesia. Alasannya, suku bunga yang ditawarkan perbankan asing akan lebih rendah.

"Kami meyakini untuk bersaing, khususnya di suku bunga dengan bank asing agak berat. Asing menawarkan suku bunga cukup rendah," kata  di Jakarta, Rabu (18/7).

Menurut Baiquni, rendahnya suku bunga kredit yang ditawarkan oleh bank asing dibanding bank domestik karena kredit yang akan dikucurkan dalam bentuk dolar AS. Namun, ia enggan menyebutkan berapa suku bunga kredit yang menjadi bahan negoisasi ke Inalum.

Di penawaran awal, ujarnya, suku bunga kredit dari bank asing bisa lebih rendah dibanding BNI. Selain itu, di tengah volatilitas kurs rupiah terhadap dolar AS saat ini, BNI juga lebih berhati-hati dalam menyalurkan pinjaman valas.

'Pinjaman dalam bentuk dolar juga jadi pertimbangan kami. Dana terbatas, kemudian potensi yang lebih menarik dari yang lain, kenapa tidak pilih itu," ujar dia.

Baca juga:

Waspadai heads of agreement

Heads of Agreement (HoA) yang ditandatangani oleh Inalum, Freeport McMoran dan Rio Tinto pada Kamis (12/7) lalu, dinilai menyisakan permasalahan terkait dengan status perjanjian dasar dan harga pembelian. HoA itu ternyata tidak mengikat.

"Menurut menteri BUMN pada konferensi pers dinyatakan HoA mengikat. Sementara dalam rilis dari laman London Stock Exchange disebutkan bahwa Rio Tinto melaporkan HoA sebagai perjanjian yang tidak mengikat (non-binding agreement)," ujar Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana di Jakarta, Jumat, pekan lalu.

Menurutnya, hal ini perlu mendapat klarifikasi mengingat status binding dan non-binding agreement mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda.

"Bila terjadi sengketa atas HoA dan dibawa ke lembaga penyelesaian sengketa maka menjadi pertanyaan apakah HoA hanya merupakan ikatan moral atau ikatan hukum? Ini tentu bisa melemahkan posisi Inalum," ungkap Hikmahanto.

Selanjutnya, dalam laman London Stock Exchange juga disebutkan bahwa harga penjualan 40 persen participating interest disebutkan sebesar 3,5 miliar dolar AS. Harga tersebut sepertinya setelah memperhitungkan perpanjangan konsesi PT FI hingga 2041.

Dalam hal demikian sebaiknya, lanjut dia, Inalum tidak melakukan pembelian sebelum keluarnya izin perpanjangan dari Kementerian ESDM. "Bila tidak maka manajemen Inalum pada saat ini di kemudian hari ketika telah tidak menjabat dapat diduga oleh aparat penegak hukum telah melakukan tindak pidana korupsi," kata dia.

Hal ini karena manajemen dianggap telah merugikan keuangan negara. Kerugian negara dianggap terjadi karena harga pembelian participating interest didasarkan harga bila mendapat perpanjangan.

"Padahal izin perpanjangan dari Kementerian ESDM pada saat perjanjian jual beli participating interest dilakukan belum diterbitkan," kata Hikmahanto.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignasius Jonan, mengakui HoA dalam pembelian Freeport bukan merupakan kesepakatan mengikat. Jonan mengatakan, HoA dibuat hanya untuk menyamakan persepsi terkait transaksi.

Namun, kata dia, melalui HoA itulah tata cara transaksi, jumlah transaksi, dan mekanisme transaksi disatukan persepsi.

"Kalau ditanya ke saya, mengikat apa tidak. Selama ini memang tidak mengikat, tapi ini frame work buat transaksi. Ini sebenarnya secara hukum HoA itu tidak pernah mengikat," ujar Jonan di Kompleks DPR, Kamis (19/7)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement