Selasa 24 Jul 2018 18:41 WIB

Pengamat: Putusan MK Tata Kembali Sistem Legislasi

MK memutus anggota DPD tidak boleh diisi oleh pengurus partai politik.

Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi Majelis Hakim MK Saldi Isra (kanan) dan Aswanto (kiri) memimpin sidang pembacaan putusan di ruang sidang pleno Gedung MK, Jakarta, Senin (23/7).
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi Majelis Hakim MK Saldi Isra (kanan) dan Aswanto (kiri) memimpin sidang pembacaan putusan di ruang sidang pleno Gedung MK, Jakarta, Senin (23/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Universitas Al Azhar, Ujang Komaruddin, mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait calon anggota DPD. MK melarang Dewan Perwakilan Daerah (DPD) diisi pengurus partai politik (parpol).

Ujang menilai putusan itu merupakan wujud penataan kembali sistem legislasi di Indonesia agar lembaga tersebut bersih dari kepentingan politik parpol. "Di negara manapun, senator itu non-partisan karena itu ada kepentingan tertentu ketika orang parpol mau masuk DPD," kata Ujang di Jakarta, Selasa (24/7).

Ujang mengatakan sejak awal, pembentukan DPD adalah non-partisan. Namun pada periode 2014-2019, terjadi praktik mencampuradukan kewenangan karena tidak ada aturan yang mengaturnya.

Menurut dia, putusan MK itu mempertegas posisi DPD sebagai lembaga legislatif sehingga kedepannya mekanisme "check and balances" bisa berjalan. "Karena itu, MK tegaskan anggota DPR tidak boleh menjadi anggota parpol. Dalam demokrasi, tidak boleh ada monopoli kekuasaan seperti yang sudah terjadi," ujarnya.

Dia menduga mengapa anggota DPD ingin masuk ke parpol karena bisa menjadikan sebagai sumber uang dikarenakan DPD tidak punya kewenangan anggaran.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya menegaskan bahwa anggota DPD sejak Pemilu 2019 dan pemilu-pemilu setelahnya tidak boleh diisi oleh pengurus partai politik. "Untuk selanjutnya, anggota DPD sejak Pemilu 2019 dan pemilu-pemilu setelahnya yang menjadi pengurus partai politik adalah bertentangan dengan UUD 1945," ujar Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna di Gedung MK Jakarta, Senin (23/7).

Palguna mengatakan hal tersebut ketika membacakan pertimbangan Mahkamah atas permohonan uji materi Pasal 182 huruf l UU Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) dalam perkara Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang diajukan oleh seorang fungsionaris partai yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota DPD.

Putusan untuk perkara Nomor 30 ini kembali menegaskan bahwa calon anggota DPD tidak boleh berasal dari partai politik. Dalam pertimbangan putusan tersebut, Mahkamah juga memberikan jawaban terkait dengan anggota partai politik yang pada saat ini juga menjabat sebagai anggota DPD.

Mahkamah dalam pertimbangannya mengakui bahwa ketentuan Pasal 182 huruf l UU Pemilu tidak tegas melarang anggota partai politik menjabat sebagai anggota DPD, meskipun putusan MK sebelumnya tetap menyebutkan bahwa anggota DPD tidak boleh diisi oleh anggota partai politik. 

Baca Juga: Imbauan KPU untuk Calon Anggota DPD dari Pengurus Parpol

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement