REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Paham radikal atau radikalisme yang ada di Indonesia adalan paham-paham kekerasan yang berasal dari luar negeri (impor). Ironinsya, ideologi-ideologi transnasional itulah yang kini menjadi momok dalam menjaga keutuhan dan perdamaian di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Fakta itulah yang mengharuskan Indonesia, melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), terus memperkuat sinergi dengan negara-negara lain, agar penyebaran dan aksi radikalisme antar negara bisa ditanggulangi. Apalagi, dengan telah disahkannya Undang-Undang (UU) Anti Terorisme yang baru, penanganan radikalisme dan terorisme, baik di dalam maupun di luar negeri bisa lebih terarah dan tepat sasaran.
“Radikalisme dan terorisme bukan sekadar fenomena, sehingga kerja-kerja deradikalisasi dan kontra radikalisasi harus ditingkatkan, termasuk sinergi dengan negara-negara lain. Radikalisme di negara kita sekarang ini adalah produk impor dari negara tertentu sehingga institusi di Indonesia, dalam hal ini BNPT, harus mengetahui asal dan cara pengananannya dengan bekerjasama dengan badan sejenis di negara lain,” ujar anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PPP Arsul Sani, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Sejauh ini, ia menilai kinerja BNPT dalam bersinergi dengan badan internasional sudah sangat baik. Terbukti BNPT aktif di setiap konferensi anti terorisme. Terakhir Kepala BNPT Komjen Pol. Drs. Suhardi Alius, MH, diundang dan memaparkan strategi penanggulangan terorisme di Indonesia, dalam KTT Badan Anti Teror seluruh dunia di markas besar PBB, beberapa pekan lalu.
Bahkan, upaya lunak (soft approach) BNPT dalam menjalankan program deradikalisasi dengan merangkul dan memanusiakan mantan napi terorisme dan keluarganya, menjadi acuan negara-negara lain. Pasalnya, selama ini penanganan terorisme, terutama di luar negeri, hanya difokuskan pada tindakan hukum (hard approach) saja.
Belanda langsung mengutus Menteri Luar Negeri Stephanus Abraham Blok datang dan melihat langsung cara deradikalisasi Indonesia di Yayasan Lingkar Perdamaian pimpinan mantan teroris Ali Fauzi, adik bomber Bom Bali Amrozi, di Lamongan. DI sini, ada sekitar 37 mantan napiter telah sepakat untuk menjadi agen perdamaian dengan membangun lembaga pendidikan terhadap anak dan keluarga mantan napiter. Mereka juga mengajak rekan-rekannya yang belum ‘sembuh’ untuk kembali ke jalan yang benar. Hal yang sama juga dilakukan di Desa Mencirin, Deliserdang, Sumatera Utara. DI tempat ini, mantan teroris, Khoirul Ghazali memimpin pondok pesantren yang sebagian besar santrinya anak teroris.