Selasa 24 Jul 2018 08:44 WIB

Hak-Hak Narapidana dalam Sel 'Berbayar'

Diskriminasi menjadi wajah buruk pemasyarakatan.

Tersangka kasus suap fasilitas sel mewah dan izin keluar napi korupsi Fahmi Darmawansyah (kiri) bersama Andri Rahmad (kanan) terpidana umum memakai rompi tahanan didalam mobil seusai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (21/7).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Tersangka kasus suap fasilitas sel mewah dan izin keluar napi korupsi Fahmi Darmawansyah (kiri) bersama Andri Rahmad (kanan) terpidana umum memakai rompi tahanan didalam mobil seusai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (21/7).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ratna Puspita*

Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif geram. Kepala Lapas Sukamiskin Wahid Husen baru menjabat sejak Maret 2018. Kala itu, ia menggantikan Dedi Handoko yang ditunjuk sebagai kadivpas di Kanwil Kemenkumham Kepulauan Riau.

Empat bulan menjabat, Wahid diduga sudah mendapatkan dua mobil dari hasil ‘bisnis’ yang berlangsung di lapas. Dua mobil tersebut tidak tergolong murah, yakni Mitsubishi Triton Exceed dengan kisaran harga Rp 390 juta dan Mitsubishi Pajero Sport Dakar dengan harga sekitar Rp 500 juta.

KPK menduga bisnis yang berlangsung di Lapas Sukamiskin, yakni ‘jual beli’ fasilitas di Lapas Sukamiskin. Fasilitas tersebut mulai dari sel mewah hingga izin keluar lapas.

KPK patut geram dan kesal. Pertama, permintaan mobil, uang dan sejenisnya, di Lapas Sukamiskin diduga dilakukan secara terang-terangan. Bahkan, ada rate atau nilai kamar mewah di Lapas Sukamiskin, yakni Rp 200-500 juta/kamar.

Kedua, Komisioner KPK Saut Situmorang menyatakan Wahid terlihat tidak menyesali perbuatannya. Pemberian suap kepada Wahid diduga untuk mendapatkan fasilitas mewah di Lapas Sukamiskin terkesan sudah biasa.

Ketiga, pemasyarakatan merupakan ujung dari penegakan hukum. Jika penegakan hukum di lapas sudah ‘pilih kasih’ kepada mereka yang berduit maka jangan harap korupsi akan habis. Narapidana korupsi yang memiliki uang bisa selalu membayar untuk mendapatkan fasilitas enak dan nyaman ketika menjalani hukuman.

Keempat, layanan pemasyarakatan yang tidak kunjung membaik. Persoalan ‘jual beli’ fasilitas di lapas sudah kerap terungkap di publik. Namun, layanan diskriminasi di lapas masih terus terjadi.

Kita tentu masih ingat foto Gayus Tambunan yang makan di restoran kendati statusnya adalah narapidana yang menjalani masa hukuman di Lapas Sukamiskin pada 2015. Atau, terpidana korupsi Anggoro Widjojo yang keluar Lapas Sukamiskin, tahun lalu.

Pada 2010, layanan salon narapidana korupsi Artalyta Suryani di Rutan Kelas II Pondok Bambu, Jakarta Timur. Juga, ‘bilik asmara’ yang digunakan oleh Freddy Budiman, narapidana narkoba yang sudah dihukum mati, di Lapas Cipinang.

Berbagai kasus-kasus tersebut selama ini hanya berakhir pada sanksi pada penjaga. Misalnya pada kasus plesiran Anggoro tahun lalu, kesalahan terletak pada petugas yang terima ‘uang suap’ Rp 100 ribu.

Karena itu, pengungkapan adanya praktik suap di Lapas Sukamiskin oleh KPK memang sudah seharusnya dibesar-besarkan. Sekarang ini, praktik ‘jual beli’ fasilitas di Lapas Sukamiskin bukan lagi sekadar rumor atau rahasia umum.

Operasi tangkap tangan ini seharusnya membuka mata semua pihak, terutama pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia, untuk melakukan pembenahan di pemasyarakatan. Jika praktik bisnis di pemasyarakatan sudah sangat lazim dan sistematis maka perlu ada upaya yang sistematis untuk melenyapkannya.

Diskriminasi

Pengungkapan kasus ini juga menunjukkan, jangan-jangan, masalah utama lapas bukanlah kelebihan kapasitas (overcapacity). Kelebihan kapasitas memang memunculkan berbagai persoalan.

Akan tetapi, diskriminasi dapat menjadi yang membuat masalah di lapas menjadi semakin kompleks. Diskriminasi dapat berujung pada pengabaian hak-hak narapidana.

UU Pemasyarakatan sudah mengamanatkan sistem pemasyarakatan menganut asas persamaan dan kemanusiaan. Anda boleh saja sepakat agar narapidana diperlakukan tidak manusiawi seperti makan seadanya dan ruang sel yang sempit, tetapi undang-undang kita mengamanatkan agar narapidana diperlakukan manusiawi.

Karena itu, perlakuan diskriminasi bisa berpotensi memicu kekacauan di bilik-bilik penjara. Saya membayangkannya seperti ini, lembaga pemasyarakatan di Indonesia penuh sesak. Setiap narapidana harus berbagi ruang sangat sempit dengan narapidana lain. Belum lagi persoalan makanan yang hambar, bahkan lebih tepat jadi pakan ternak.

Ketika harus menjalani hidup yang tidak manusiawi, tiba-tiba ada narapidana lain yang mendapatkan perlakuan istimewa hanya lantaran punya uang. Belum lagi, narapidana itu melakukan kejahatan yang (katanya) luar biasa di negeri ini: korupsi.

Diskriminasi tersebut akan mengakarkan kecemburuan, kebencian, dan bukan tidak mungkin memicu kegaduan di pemasyarakatan. Diskriminasi menjadi wajah buruk pemasyarakatan sehingga sel-sel penjara justru bisa berpotensi membuat narapidana tidak kembali menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindakannya.

Karena itu, peringatan KPK kepada lapas lain agar tidak melakukan praktik serupa sudah selayaknya mendapatkan dukungan. Ini termasuk juga dorongan agar Kemenkumham menunjukkan keseriusan untuk melakukan perbaikan secara mendasar.

Dukungan tersebut bukan dengan mempertanyakan kenapa kasus ini dibesar-besarkan, atau kenapa baru sekarang diungkap ke publik. Kecuali, publik lebih suka ini tidak terungkap dan tidak ada pembenahan di lapas.

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement