Senin 23 Jul 2018 15:12 WIB

Jelang Pilpres, Politik Identitas Menguat

Politik identitas ini menjadi persoalan serius bagi calon pejawat, Joko Widodo.

Rep: Ali Mansur/ Red: Ratna Puspita
Direktur Media Survei Nasional (MEDIAN), Sudarto
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Direktur Media Survei Nasional (MEDIAN), Sudarto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politik identitas menjelang semakin menguat menjelang pemilihan presiden (Pilpres) 2019. Ini menunjukkan bahwa publik lebih suka urusan agama dan politik tidak dipisahkan. 

Kategori yang menjadi identitas dalam politik, yakni identitas agama, suku, nasional, dan regional. Ini diketahui setelah Media Survei Nasional (Median) merilis hasil surveinya.

Menurut Direktur Riset Median Sudarto berdasarkan survei yang dilakukan oleh lembaganya, 43,8 persen dari masyarakat Indonesia menjadikan agama sebagai identitas paling kuat dalam berpolitik. Kemudian, 23,4 persen identitas suku, 22,1 persen identitas nasional, 9,3 persen identitas regional, dan 1,5 persen identitas lainnya. 

“Identitas agama wajib diperhatikan oleh capres-capres yang akan bertarung pada pemilihan presiden, jika ingin meraih suara dari publik,” kata Sudarto saat menjelaskan hasil survei di Jakata Pusat, Senin (23/7).

Sudarto menerangkan 43,4 persen publik menginginkan agar politik dan agama tidak dipisahkan. Sementara publik yang menghendaki agar politik dan agama dipisahkan sebesar 33,9 persen dan tidak menjawab 22,8 persen. 

photo
Presiden Joko Widodo. Politik identitas akan menjadi persoalan serius bagi Jokowi pada PIlpres 2019. (Republika/Wihdan)

Sudarto menilai variabel politik identitas ini menjadi persoalan serius bagi calon pejawat, Joko Widodo. Apalagi selama ini, Joko Widodo masih kurang ramah dengan Islam.

Dengan demikian, kata Sudarto, jika Jokowi ingin melanjutkan kepemimpinan maka dia harus memilih calon wakil presiden (cawapres) yang terafiliasi dengan identitas agama, khususnya agama Islam. Sebab, sebanyak 32,5 persen Joko Widodo adalah pemilih adalah beragama Islam. 

“Sebanyak 56,5 persen merupakan pemilih non-Islam. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi Joko Widodo dan partai-partai pengusungnya," kata dia.

Sebenarnya, persoalan Jokowi dalam melanjutkan kekuasaannya tidak hanya masalah politik identitas, tetapi juga faktor ekonomi. Sampai saat ini, beratnya beban ekonomi masih menjadi kegelisahan utama pemilih. 

Tidak tanggung-tanggung, sebesar 24,2 persen pemilih menganggap ekonomi, kesejahteraan, dan kemiskinan sebagai masalah yang harus diprioritaskan. “Akan tetapi, yang terbesar tetap identitas agama, karena ini melekat dengan sosok tidak seperti ekonomi yang merupakan kepakaran," kata Sudarto. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement