Senin 23 Jul 2018 12:24 WIB

Pengamat Komunikasi: Kasus Waode Langgar Etika Penyiaran

Masyarakat harus makin mendesak stasiun televisi makin menata produksi siarannya.

Waode Sofia saat bernyanyi di sebuah audisi.
Foto: Kaskus.id
Waode Sofia saat bernyanyi di sebuah audisi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Komunikasi UIN Jakarta, Akhmad Danial, mengatakan, apa yang terjadi pada kasus Waode Sofia ketika dilarang menyanyi dalam acara audisi dangdut di sebuah televisi, jelas merupakan hal sangat serius. Bahkan, komentar dari dewan juri kepada anak asal Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, yang baru berumur 16 tahun itu merupakan pelanggaran nyata atas standar perilaku penyiaran.

"Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus bertindak atas kasus ini. Kalau tidak ada tindakan, kami mempertanyakan apa gunanya komisi atau lembaga itu. Dunia penyiaran televisi harus ada kontrol dari masyarakat. Kalau sudah begitu banyak terjadi kontroversi publik pada kasus Waode ini, harus ada tindakan yang jelas,’’ kata Danial yang mengajar mata kuliah etika jurnalistik dan standar perilaku penyiaran di UIN Jakarta, (23/7).

Menurutnya, kalau cara itu merupakan gimik atau permainan, ini makin tidak bisa dibenarkan. Ini karena berarti melakukan serangan bullying secara sengaja, dan makin berat implikasinya karena ditujukan kepada seorang anak. Selain itu, juga merupakan cermin dari sikap sebuah tayangan yang tidak empati kepada anak bangsa yang miskin, tak punya, berasal dari kampung, dan lainnya.

"Segala unsur negatif sudah dipenuhi pada kasus Waode apa pun alasannya. Ini menegaskan anggapan bahwa media Indonesia menciptakan citra palsu, berjarak dengan masyarakat, bahkan menutupi keadaan yang sesungguhnya. Semua hal negatif itu menjadi benar adanya. Dan, semua orang harus peduli pada soal yang tidak adil ini,’’ katanyan seraya menyebut adanya indikasi  pelanggaran Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9 dan Pasal 15 Pedoman Perilaku Penyiaran dan Pasal 6 dan 9 Standar Program Siaran.

Selain itu, lanjut Danial, kasus ini juga bisa meneguhkan sikap bahwa media Indonesia pilih-pilih orang. Akibatnya, sekelompok anak bangsa dari suku dan tinggal di daerah tertentu terkesan sangat jarang tampil di media televisi Indonisia.

"Dahulu sewaktu kuliah, ada dosen saya yang juga merupakan sutradara terkemuka, kepada kami menyatakan televisi Indonesia masih memarginalkan orang-orang tertentu. Jadi, jangan heran bila orang-orang atau anak-anak dari Papua dan Indonesia Timur, misalnya, jarang terlihat di layar televisi. Nah, ini jelas menyedihkan dan menjadi cermin besar media masa Indonesia,’’ ujar Danial menegaskan.

Menurut Danial, sejatinya ketidakadilan ini tak hanya berlaku pada tayangan jenis hiburan. Tapi, terlihat pada aneka tayangan lain yang hanya menampilkan orang-orang kaya, berwajah tertentu, atau membuat mimpi terkait dunia glamor dengan berlebihan. Jadi, tak heran bila masyarakat terdidik semakin hari semakin enggan menonton tayangan televisi Indonesia yang kebanyakan berisi hura-hura saja.

"Jadi, adanya kasus Waode Sofia itu menjadi pelajaran bagi kita untuk semakin menata tayangan televisi dan sajian media masa menjadi lebih baik. Ke depan, perilaku tidak empati kepada seorang anak bangsa tidak boleh terjadi lagi. Sekali lagi, lembaga penyiaran harus bertindak karena acuannya sangat jelas, yakni adanya pelanggaran dalam standar perilaku penyiaran,’’ kata Ahmad Danial.

(Contoh respek pada orang miskin (tukang ayam), berbaju dan berdandan seadanya ternyata ada pada ajang pencarian bakat menyanyi di tayangan televisi luar negeri. Lihat contoh tayangan yang penuh empati, simpati, dan respek kepada orang yang ingin mengubah nasibnya melalui ajang pencarian bakat menyanyi,red).

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement