Kamis 19 Jul 2018 13:44 WIB

Bangsa Arab tak Lagi Diakui di UU Baru Negara-Bangsa Yahudi

Knesset pada Kamis (17/7) mengesahkan UU Segregasi Arab-Israel.

Rep: Marniati/ Red: Andri Saubani
Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu.
Foto: Ronen Zvulun/Pool Photo via AP
Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu.

REPUBLIKA.CO.ID, Setelah melalui perdebatan panjang selama berjam-jam, parlemen Israel atau Knesset pada Kamis (19/7) mengesahkan Undang-Undang (UU) segregasi atau pemisahan etnis Yahudi dan Arab. Undang-undang yang dikenal dengan sebutan 'Jewish Nation-State' tersebut didukung oleh pemerintah sayap kanan.

"Ini adalah momen yang menentukan dalam sejarah Zionisme dan sejarah negara Israel," kata Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kepada Knesset setelah pemungutan suara.

Undang-undang disahkan dengan dukungan 62-55 suara dan dua abstain di Knesset yang beranggota 120 orang. Sebelum pengesahan telah terjadi perbedatan politik selama berbulan-bulan.

Yang paling marah dalam perdebatan di parlemen adalah para anggota dari kalangan Arab. Anggota dari Partai Joint List, Jamal Haika bahkan merobek kopian naskah UU tersebur di podium Knesset.

"Saya mendeklarasikan dengan rasa terkejut dan sedih atas matinya demokrasi. Kuburan (demokrasi) kini bertempat di parlemen ini," rekan Jamal, Ahmad Taibi berbicara dalam bahasa Arab seperti dikutip The Times of Israel.

Sebelumnya pada Rabu malam, anggota Partai Likud Amir Ohana, yang memimpin komite dan mengetuk palu pengesahan UU, menyatakan, proses pengesahan UU adalah momen bersajarah bagi negara Israel.

"Israel sebagai satu-satunya negara bagi bangsa Yahudi," kata Amir.

UU itu sebenarnya mengakibatkan Knesset terbelah, lantaran di antara anggota parlemen menilai beleid itu akan meniru kebijakan apartheid. Salah satu yang mengkritisi adalah anggota partai Meretz yang berhaluan kiri, Tamar Zandberg.

"UU itu diambil dari tempat di mana kebijakan apartheid selama ini disimpan," kata Tamar dikutip Independent.

Duta Besar Uni eropa untuk Israel, Emanuele Giaufret, menilai UU itu berbau rasisme. "UU itu akan membuat Israel berjarak dengan norma-norma yang selama ini diterapkan di negara-negara demokrasi."

Pada Ahad (14/7), Netanyahu dan Menteri Pendidikan Naftali Bennett mencapai kesepakatan untuk menghapus pasal-pasal kontroversial, yang memberikan kewenangan kepada negara untuk, "mengatur kelompok masyarakat berdasarkan keyakinan dan kebangsaan yang sama untuk menjaga eksklusivitas karakter kelompok tersebut," dan menggantinya dengan pasal baru merayakan 'permukiman Yahudi' di Israel dalam artian yang umum. 

Penghapusan pasal-pasal kontroversial menyusul desakan dari kalangan oposisi yang menilai UU 'Jewish Nation-State' bisa merusak citra Israel di dunia internasional.

"UU itu akan membuat Israel berjarak dengan norma-norma yang selama ini diterapkan di negara-negara demokrasi." Duta Besar Uni eropa untuk Israel, Emanuele Giaufret

Poin-poin UU 'Jewish Nation-State'

  • Israel adalah tanah air bersejarah dari orang-orang Yahudi
  • Yerusalem adalah ibu kota Israel
  • Menetapkan kalender Yahudi sebagai kalender resmi nasional
  • Mencabut bahasa Arab sebagai bahasa resmi. Hanya bahasa Ibrani sebagai bangsa resmi Israel
  • Memarjinalkan 1,8 juta warga Palestina atau 20 persen dari sembilan juta penduduk Israel

Reaksi warga Arab

Penduduk Arab Israel sebagian besar terdiri dari keturunan orang-orang Palestina yang tinggal di tanah mereka selama konflik antara orang Arab dan Yahudi dalam perang  1948, atau pada saat pembentukan negara Israel. Ratusan ribu orang terpaksa meninggalkan rumah mereka atau melarikan diri.

Pusat Hukum untuk Hak-Hak Minoritas Arab di Israel, menyebut undang-undang tersebut sebagai upaya untuk memajukan superioritas etnis dengan mempromosikan kebijakan rasisme.

Warga Arab di Ma'alot-Tarshiha, sebuah kotamadya di Israel utara, marah atas pengesahan undang-undang itu. "Saya pikir ini adalah undang-undang rasis oleh pemerintah sayap kanan radikal yang menciptakan hukum radikal, dan menanam benih untuk menciptakan negara apartheid," kata Bassam Bisharah (71).

Warga lainnya, Yousef Faraj (53 tahun) dari desa Druze di dekatnya, Yanuh, menyebut tujuan dari undang-undang tersebut adalah diskriminasi. Pemerintah Israel ingin menyingkirkan orang Arab secara total.

"Orang-orang Israel ingin menghancurkan semua agama orang-orang Arab."

Netanyahu, pekan lalu, menyatakan, pemerintahannya tetap akan menjamin hak-hak warga sipil. Namun, menurutnya, kaum mayoritas Yahudi yang absolut di Israel memiliki hak mayoritas untuk membuat keputusan.

"Mayoritas absolut ingin memberikan jaminan mempertahankan karakter Yahudi kepada generasi-generasi mendatang," kata Netanyahu, dikutip Al Jazirah.

Populasi bangsa Palestina di Israel terdiri dari yang paling utama adalah para korban perang 1948 yang tetap memilih bertahan di tanah mereka. Permukiman mereka mengelilingi permukiman modern Israel yang ada saat ini.

Zionis memiliki kontrol penuh atas tanah para warga Pelestina di Israel. Di bawah UU yang baru, para warga Israel keturunan Palestina sebenarnya tetap dijamin hak berwarganegaranya, namun mereka mengaku menghadapi ancaman diskriminasi dalam hal hal pelayanan publik, alokasi jaminan pendidikan dan kesehatan yang tidak adil, serta dalam hal kepemilikan rumah.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement