Senin 16 Jul 2018 07:16 WIB

Orang Miskin Jadi Santapan Lezat Ikan Paus

Begitu berkuasa mereka justru tidak berbuat apa-apa untuk memperbaiki ekonomi.

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID Awal bulan lalu Tunisia digegerkan oleh sebuah tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan. Yaitu karamnya sebuah kapal yang menewaskan 180 emigran gelap.

Mereka adalah para warga miskin yang nekat berhijrah ke Eropa dengan segala cara, termasuk dengan menumpang kapal butut melebihi kapasitas. Peristiwa itu terjadi di Laut Mediterania, dekat Pulau Kerkennah di Provinsi Sfax, yang merupakan ibukota ekonomi Tunisia.

Penyair dan penulis Tunisia Dr Amal Musa menggambarkan tragedi itu sungguh memilukan dan memalukan. Katanya, ‘’Para ibu mereka (para emigran yang teggelam) tentu tidak pernah membayangkan melahirkan anak-anak yang akan menjadi santapan lezat ikan paus.’’

Menurut Amal, dalam kolomnya di media al Sharq al Awsat, tragedi tenggelamnya kapal yang mengangkut para emigran ilegal Tunisia bukanlah hal baru. Yang baru adalah rasa putus asa yang terus berlanjut, menjadikan para pemuda memaksakan diri untuk dapat berhijrah ke Eropa, dengan harapan bisa mengubah nasib. Meskipun, untuk itu dengan menumpang kapal butut dan melebihi kapasitas penumpang.

Peristiwa mengenaskan itu pun segera menjadi krisis, atau lebih tepatnya pertikaian politik. Berbagai pihak, terutama para politisi oposisi, menuduh pemerintah telah gagal memenuhi harapan rakyat untuk memperbaiki ekonomi, menyediakan lapangan kerja, dan mengurangi pengangguran.

Sementara itu, pemerintah menyatakan tanggung jawab (tenggelamnya para emigaran) ada pada keluarga, para orangtua, gang-gang mafia, dan lemahnya keamanan. Sedangkan, rakyat jalanan mengatakan pertikaian para politisi yang hanya peduli pada kekuasaan telah melupakan kepentingan rakyat.

Seperti diketahui, Arab Spring — sering juga disebut revolusi rakyat —  yang menerjang sejumlah negara Arab barawal dari Tunisia. Seorang pemuda 26 tahun, Muhamad Bouazizi, membakar dirinya sendiri pada 17 Desember 2010, sebagai protes atas penghinaan dan penyitaan barang dagangannya di kaki lima. Pembakaran diri ini pun cepat menyebar dan berkembang menjadi demonstrasi besar-besaran di seluruh negeri yang memaksa Presiden Zainal Abidin bin Ali mengundurkan diri.

Aksi unjuk rasa yang berkembang menjadi revolusi rakyat itu sebagai bentuk perlawanan kepada rezim Zainal Abidin yang korup, tidak mampu mengendalikan inflasi, pengangguran, dan kemiskinan. Alih-alih memperbaiki keadaan, presiden yang telah berkuasa 23 tahun itu justru menghadapi para demonstran secara represif.

Revolusi rakyat Tunisia yang berhasil menggulingkan rezim diktator-otoriter ini pun kemudian cepat menjalar ke sejumlah negara Arab lain. Beberapa penguasa diktator bin otoriter Arab pun tumbang.

Sayangnya, selama tujuh tahun pascarevolusi, Pemerintah Tunisia yang terpilih secara demokratis tidak mampu memperbaiki perekonomian rakyat. Para politisi lebih sibuk dengan pertikian politik dan bagi-bagi kekuasaan. Bahkan, menurut Amal Musa, perekonomian Tunisia di masa pemerintahan demokratis sekarang ini lebih buruk dibanding pada masa rezim Zainal Abidin.

Sebagai bukti, kalau dulu emigrasi ilegal hanya dilakukan para laki-laki dan orang per orang, kini oleh para keluarga, lengkap dengan istri dan anak-anak. Bahkan juga orang tua dan perempuan yang sedang hamil.

Karena itu, katanya, emigrasi ilegal sekarang ini jelas menunjukkan femonena sosial yang sangat memalukan sekaligus memilukan. Sebab, lanjut perempuan penyair ini, tidak mudah bagi seorang suami mempertaruhkan nyawa istrinya yang sedang hamil dan bayi yang dalam kandungannya. Apalagi lewat organisasi mafia dan dengan menggunakan kapal butut dengan penumpang yang melebihi kapasitas.

Dengan demikian, keputusasaan dan dan ketidakberdayaan, atau tepatnya tiadanya sumber rizki, telah mendorong mereka berani menantang bahaya dengan menyabung nyawa. Mereka melihat tidak ada harapan hidup di negeri sendiri dan tidak akan kehilangan apa-apa bila beremigrasi meskipun itu ilegal.

Amal Musa mengarahkan telunjuk kepada para politisi yang memerintah silih berganti pascarevolusi, sebagai bertanggung jawab atas memburuknya perekonomian Tunisia. Mereka telah gagal memenuhi harapan rakyat. Selama tujuh tahun tidak ada pembangunan dan investasi berarti. Nilai mata uang Tunisia, dinar, jatuh, harga melambung, dan rakyat tidak mempunyai pekerjaan.

Menurut Amal, masalah di Tunisia pascarevolusi adalah persoalan politik atau tepatnya pertikaian politik, yang kemudian berubah menjadi persoalan ekonomi. Para elit politik tampaknya lupa bawa revolusi yang menggulingkan rezim Presiden Zainal Abidin disebabkan oleh krisis ekonomi.

Namun, sayangnya, begitu berkuasa mereka justru tidak berbuat apa-apa untuk memperbaiki ekonomi. Bahkan mereka pun mengabaikan peringatan para ahli ekonomi bahwa tahun 2016, 2017, 2018, dan seterusnya, merupakan tahun tahun yang sulit, bila tidak ada perubahan segera.

Memang ada perbaikan, tapi sangat kecil dan sektoral. Misalnya memberantas pungutan liar dan korupsi, serta menyita harta benda orang-orang tertentu yang diperoleh secara ilegal, terutama para elit di zaman rezim Zainal Abidin. Namun, perbaikan itu baru sebatas bagaimana pemerintah bisa menggaji para pegawai negeri, belum menyentuh hajat hidup rakyat banyak, belum menyentuh visi yang komprehensif tentang perbaikan ekonomi Tunisaia secara menyeluruh.

Dengan kata lain, pemerintah tidak memiliki visi ekonomi yang jelas berdasarkan target yang bisa diukur. Misalnya, berapa lapangan pekerjaan yang bisa dibuka, berapa pengangguran bisa dikurangi, berapa rakyat miskin yang bisa dientaskan, dan berapa pengusaha kelas menengah yang akan ditumbuhkan.

Karena itu, menurut Amal, fenomena emigrasi ilegal harus segera dicari solusinya. Dan, solusi itu adalah memperbaiki ekonomi, membuka lapangan kerja, mengurangi angka kemiskinan, menciptakan iklim usaha yang sehat, dan seterusnya. Bukan, seperti dilakukan pemerintah, dengan menyalahkan para emigran itu sendiri. Juga bukan dengan menuduh aparat keamanan yang lalai alias ‘main mata’.

Pun bukan dengan menyalahkan gang-gang mafia emigran gelap. Yang terakhir ini hanya memanfaatkan peluang. Dan, peluang itu adalah keputusasaan rakyat pada tingkat berani menyabung nyawa untuk bisa keluar dari negaranya dan mencari penghidupan yang lebih baik di negara orang.

Apa yang terjadi di Tunisia harus kita jadikan peringatan buat kita di Indonesia. Di tahun politik seperti sekarang, persaingan politik semakin panas bin ganas. Bahkan menjurus kepada pertikaian politik. Para elit politik saling menjatuhkan satu sama lain dengan bahasa yang acap kali vulgar. Kekuasaan seolah sudah menjadi tujuan. Bukan sarana untuk menyejahterakan rakyat.

Menjadi RI 1 dan RI 2 bukan lagi dijadikan kontestasi politik yang sehat sebagai berlomba-lomba dalam kebaikan. Fastabiqu al khairot…!  ‘Ganti presiden’ sudah harga mati di satu pihak, dan di pihak lain ‘presiden dua periode’ harga yang tidak bisa ditawar.

Bila kontestasi yang tidak sehat ini berlanjut, saya khawatir persaingan politik ini bisa saja berkembang menjadi krisis ekonomi yang justru merugikan rakyat, seperti halnya di Tunisia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement