Jumat 13 Jul 2018 19:56 WIB

Kode Bahaya dan Ancang-Ancang Cak Imin Tinggalkan Jokowi

Muhaimin berkeras dirinya harus menjadi cawapres Jokowi.

Rep: Fauziah Mursid, Dian Erika Nugraheny, Amri Amrullah/ Red: Andri Saubani
Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar menghadiri peringatan wafat Taufik Kiemas ke-5 di kediaman Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta, Jumat (8/6).
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar menghadiri peringatan wafat Taufik Kiemas ke-5 di kediaman Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta, Jumat (8/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar mengatakan, partainya akan terus memperjuangkan paket Joko Widodo-Muhamin (Join) untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Karena itu juga partainya belum menyiapkan opsi lain di luar dukungan ke Jokowi.

"Kalau nggak Join bahaya," ujar Cak Imin, pada Kamis (12/7).

Cak Imin tidak menjelaskan secara detail arti kata bahaya yang dimaksudnya. Ia hanya memprediksi, Jokowi akan mudah dikalahkan di Pilpres 2019 jika tidak berpasangan dengan dirinya.

"Nanti kalah sama lawannya," lanjut Cak Imin.

Saat ditanyai kemungkinan pindah dukungan koalisi jika tak diilih cawapres Jokowi, Cak Imin masih membuka peluang tersebut. Namun kata dia, itu masih perlu dipertimbangkan kemudian hari.

"Nanti kita lihat," ungkapnya.

Begitu pun saat ditanyai apakah sudah ada ajakan untuk berkoalisi dengan partai lain, Cak Imin enggan membeberkannya. Sebab, ada juga rumor yang menyebut bahwa PKB dan Golkar siap berkoalisi jika tak dipilih cawapres Jokowi.

"Tapi politik serba mungkin nanti kalau wapresnya cocok bagi semua solid," katanya.

Mengapa Jokowi akan mudah dikalahkan jika tak berpasangan dengan Cak Imin? Apakah suara pemilih PKB begitu signifikan? Ataukan Cak Imin memang bisa mempengaruhi suara dari kalangan Nahdlatul Ulama?

Belakangan, Muhaimin juga melakukan penjajakan politik dengan menemui petinggi parpol, seperti Ketua Umum Partai Golkar, Airlagga Hartarto. Ketua Umum Nasdem Surya Paloh juga sudah dia temui sebelumnya.

Dengan aturan presidential threshold (PT) sebesar 20-25 persen dalam UU Pemilu, tidak ada parpol yang kini bisa mengusung sendiri pasangan capres dan cawapresnya. PKB dengan dengan raihan suara sebesar 11.298.957 pada Pemilu 2014 lalu, terbilang signifikan sebagai mitra koalisi dengan 9,04 persen.

Jika ternyata nantinya Jokowi tidak memilih Muhaimin dan PKB memutuskan hengkang dari koalisi pendukung Jokowi, PKB bisa berkoalisi dengan kubu seberang atau bahkan membentuk poros baru. Poros baru bisa dibentuk bersama Partai Demokrat (10,19 persen) dan Golkar (14,75 persen) atau PAN (6,53 persen).

Namun, pekan ini, Wakil Sekretaris Jenderal PKB Jazilul Fawaid mengungkap, partainya tidak akan hengkang dari koalisi Jokowi meskipun calon wakil presiden yang dipilih Jokowi nanti bukanlah Muhaimin Iskandar. Jazilul menyebut hingga saat ini belum ada calon presiden yang sudah pasti selain Jokowi.

"Begini, bukan hanya PKB. Sampai hari ini belum ada calon B. Calonnya cuma A. Pulau hanya ada satu, pulau lainnya itu cuma pulau bayangan, jadi PKB ada di pulau yang sudah jelas," ujar Jazilul di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (12/7)

Karena itu ia juga memastikan kebersamaan PKB selama lima tahun terakhir ini juga akan dilanjutkan ke periode berikutnya. Ia juga sekaligus menepis rumor yang berembus  kabar hengkangnya PKB jika tak diambil cawapres oleh Jokowi.

"Rumor sekarang lagi musim itu, dalam dua pekan ini jangan heran kalau ada rumor lain tapi PKB tetap yakin dan optimistis, kami sudah lima tahun bersama Pak Jokowi dan akan dilanjutkan tahun berikutnya," ujar Jazilul.

Presiden Jokowi mengaku sudah mengantongi nama yang akan diajak untuk mendampinginya sebagai cawapres pada Pilpres 2019. Namun, nama ini masih dirahasiakan dan segera diumumkan.

"Sudah ada (nama capwapresnya) tinggal diumumkan," kata Jokowi usai menghadiri rembuk nasional aktivis 98 di Jiexpo Kemayoran, Sabtu (7/7).

photo
Presiden Joko Widodo (kiri) berbincang dengan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar (kanan) di teras belakang Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (29/11).

PDIP sebagai parpol pengusung Jokowi pun menyatakan, pihaknya yakin tidak akan ditinggal parpol anggota koalisi. Soal safari politik beberapa petinggi parpol belakangan ini, menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP, Hasto Kristiyanto, itu hal yang biasa terjadi.

Hasto menegaskan tidak akan ada parpol yang meninggalkan koalisi pendukung Jokowi. "Tidak pernah ada. Tidak ada yang saling meninggalkan," ujar Hasto di Kantor DPP PDIP, Jl Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (11/7).

Paling tidak, PDIP masih yakin bahwa koalisi dengan Golkar, PPP, NasDem serta Hanura masih tetap solid. Jika nantinya PKB jadi merapat ke koalisi Jokowi, maka peta kekuatan koalisi tersebut sudah mencapai persentase di atas 50 persen.

"Tapi kan PKB juga sampai hari ini belum menentukan sikapnya. Nah tentu saja mereka juga terus melakukan dialog, dengan rakyat. Kami meyakini Pak Muhaimin Iskandar dalam waktu dekat juga akan menyampaikan sikap politiknya apakah akan memberikan dukungan atau engga kami menghormati apa pun sikap dari setiap parpol," tambahnya.

Sekretaris Badan Pendidikan dan dan Pelatihan DPP PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari, mengakui PKB menekan Jokowi soal pengusungan Muhaimin Iskandar. PKB akan cabut dukungan kalau tidak mengusung Cak Imin sebagai cawapres.

Namun, Eva mengatakan, hal itu wajar dilakukan. “Tidak secara langsung, bukan ancaman ya, tetapi tekanan,” kata Eva Kusuma di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (12/7).

Menurut dia, kalau Muhaimin atau Cak Imin melakukan hal yang sama agar bisa menjadi cawapres maka itu sah-sah saja. “Karena banyak yang gunakan bahasa tekanan seperti Tifatul Sembiring menekan agar cawapres harus dari PKS," kata dia.

Eva mengakui pernah berkomunikasi dengan Cak Imin yang memintanya untuk mendukung sebagai cawapres. "Waktu itu Cak Imin bilang punya 10 juta suara, lalu saya katakan kalau urusan jumlah penduduk, lebih banyak PDI Perjuangan, tetapi tidak gunakan tekanan," ujarnya.

Cawapres kalangan profesional

Menurut pengamat politik dari Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago, ada beberapa tokoh yang kemungkinan diajukan Jokowi atau Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang menawarkan tokoh pilihannya. "Jadi bisa perkawinan alamiah, bisa dijodohkan,” kata Pangi dalam keterangan kepada wartawan, Selasa, (19/6).

Jika Jokowi yang mengajukan calon pendamping, Pangi menduga, Jokowi akan memilih calon profesional untuk tetap menjaga soliditas partai koalisi atau figur partai dengan elektabilitas tinggi. Sementara, bila Megawati yang menawarkan cawapres, yang muncul kemudian adalah kader PDIP atau figur profesional yang tidak berpotensi 'merebut kekuasan' di Pilpres 2024.

Karena, bagi Jokowi elektabilitas itu sangat penting, dan ia tidak lagi bicara 2024. Sementara, logika PDIP bicara setelah 2024. Karena itu, ia menilai PDIP tidak mau kalau bukan kader mereka untuk keberlanjutan partai. "Kalau panggung cawapres ini diambil oleh orang yang masih terang di 2024 itu membahayakan PDIP," jelasnya.

Lalu siapa nama-nama aktornya, itu akan jadi menarik. "Kalau saya melihat nama yang punya peluang adalah TGB Zainul Majdi (Gubernur NTB). Pak Jokowi sedang main mata dengan TGB," sambung dia.

photo
Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menggelar pertemuan di Istana Batu Tulis, Bogor, Ahad (8/7).

Duet Jokowi-TGB dinilai kombinasi ideal karena perpaduan nasionalis-religius. Dari sisi historis, menurut Pangi, TGB yang gubernur dua periode juga memiliki rekam jejak baik, punya visi misi yang jelas dan mendapat dukungan luas dari kelompok Islam.

"Walaupun TGB juga punya kelemahan. Beliau tidak punya basis suara yang besar karena bukan berasal dari Jawa dan lumbung elektoral di NTB itu kan sedikit," ujarnya.

Secara elektoral, kata Pangi, TGB kalah dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Cak Imin memiliki basis kuat di Pulau Jawa karena merupakan representasi kalangan Nahdliyin. Karena itulah, dia menilai, Cak Imin juga layak diperhitungkan Jokowi.

Sementara itu menyoal calon wakil presiden dari luar parpol, pangi menyebut nama Chairul Tanjung (CT). "Saya pikir CT juga bagus. Beliau tidak ambisius orangnya. Karena, terus terang Pak Jokowi kan nggak suka ada matahari kembar. The real presiden seperti terjadi di era SBY-JK lalu," jelas Pangi Syarwi Chaniago.

Selain CT, Pangi menilai belum ada calon profesional lain yang berpotensi mendampingi Jokowi di pilpres. Termasuk nama-nama yang sering disebut memiliki elektabilitas tinggi seperti seperti mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo.

"Pak Gatot kan enggak punya basis massa. Dan PDIP terancam kehilangan kekuasaan bila mencalonkan dia," katanya.

Jika dihitung dari basis massa, menurut Pangi, Jokowi akan lebih menguntungkan menggandeng Agus Harimurti Yudhyono ketimbang Gatot. "AHY jelas punya basis, ada delapan persen modal dukungan Parti Demokrat. Gatot nggak punya itu, terutama basis massa partai," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement