REPUBLIKA.CO. JAKARTA -- World Resources Institute (WRI), dalam laporan terbarunya menyebutkan meskipun lebih dari 50 persen lahan di dunia dimiliki secara kolektif. Namun masyarakat adat dan kelompok masyarakat lainnya secara resmi hanya memiliki 10 persen saja.
Penulis utama laporan ini yang juga merupakan pengacara dari Land and Resource Rights Initiative WRI, Laura Notess mengatakan perebutan atas lahan semakin memanas di berbagai negara berkembang. Masyarakat adat dan kelompok masyarakat lainnya kehilangan lahan mereka pada tingkat yang mengkhawatirkan seiring dengan pesatnya perusahaan mengembangkan wilayah operasi mereka di Afrika, Asia dan Amerika Latin yang kaya akan sumber daya.
"Ketidakadilan ini tidak hanya menimbulkan risiko lingkungan yang cukup berbahaya, tetapi juga mengancam kehidupan lebih dari 2,5 miliar orang yang bergantung pada lahan komunal," ujar dia.
Temuan yang dipaparkan dalam sebuah laporan terbaru WRI ini menunjukkan bahwa proses legalisasi hak atas lahan di banyak negara sangat rumit, mahal, dan lambat, memakan waktu hingga 30 tahun bahkan lebih.
Laura mengatakan, di Filipina, ada 56 langkah resmi yang wajib dijalankan, sementara di Indonesia, sebanyak 21 badan pemerintah ikut terlibat. Sedangkan sisi lain, perusahaan umumnya dapat mengantongi hak lahan jangka panjang hanya dalam 30 hari hingga lima tahun.
Laporan ini juga menyoroti ketidaksetaraan proses antara perusahaan dan masyarakat, serta memberikan rekomendasi terhadap alternatif solusi yang mungkin ditempuh untuk masa mendatang.
Salah satu tinjauan global paling komprehensif tentang pengesahan hak lahan oleh masyarakat dan perusahaan, The Scramble for Land Rights: Reducing Inequity between Communities and Companies menyoroti perbedaan waktu, biaya, ukuran lahan, serta jenis-jenis hak yang diberikan di 15 negara. Tanpa adanya hukum formal yang mengakui hak-hak masyarakat, masyarakat harus berjuang untuk melindungi lahan mereka dari proyek pembangunan atau eksploitasi.
Dari hasil penelitian WRI ini menunjukkan selain proses pengesahan kepemilikan lahan yang jauh lebih rumit dan tidak jelas, masyarakat adat dan kelompok masyarakat lainnya sering kali terpaksa menyerahkan bagian wilayah mereka yang cukup besar atau kehilangan akses terhadap sumber daya alam yang berharga seperti air bersih atau tanaman obat, sehingga berdampak pada kehidupan mereka.
Bukan hanya masyarakat yang dirugikan dengan praktik seperti ini. Perusahaan yang beriktikad baik untuk mengikuti kebijakan pemerintah dalam mengelola lahan juga ikut dirugikan dibandingkan dengan perusahaan yang mengambil jalan pintas, memanfaatkan celah, dan memulai operasi sebelum memperoleh persetujuan akhir.
"Pemerintah perlu lebih jeli melihat bahwa kebijakan mereka terkait hak lahan menguntungkan sejumlah perusahaan, terutama mereka yang membuka hutan, membakar lahan gambut yang kaya akan karbon, atau menguras sumber daya alam. Sebaliknya, masyarakat adat yang telah lama melindungi hutan-hutan dunia justru terpinggirkan," kata Pelapor Khusus PBB untuk Hak-Hak Masyarakat Adat Victoria Tauli-Corpuz.
Menurut dia, di Indonesia, masyarakat Adat telah mencoba mengesahkan hak-hak mereka selama puluhan tahun. Namun ironisnya hanya sekitar 20 komunitas yang memiliki hak kepemilikan atas lahan. Luasnya pun kurang dari 20.000 hektare (ha).
Hal ini sangat timpang jika dibandingkan dengan perusahaan kelapa sawit yang dapat memperoleh izin konsesi lahan dalam jangka waktu tiga tahun, dan menguasai luas lahan yang mencakup hampir 14 juta ha di Indonesia.
Hal yang mirip juga terjadi pada masyarakat di pedalaman Uganda. Mereka harus harus bersusah payah melalui proses yang terdiri dari 17 langkah, termasuk memperoleh persetujuan dari beberapa lembaga yang belum dibentuk pemerintah di beberapa kabupaten. "Sedangkan sejumlah perusahaan dapat memperoleh izin dalam lima langkah saja," ujar dia.