Sabtu 14 Jul 2018 01:00 WIB

Siapa Pengganti Jokowi?

Bangsa ini butuh sosok yang berani merealisasikan kembalinya UUD 1945.

Peserta  'Halal Bihalal dan Silaturrahim Nasional Solidaritas Ulama Muda Jokowi (Samawi)' di Sentul, Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (10/7). Halal Bihalal dan Silaturrahim Nasional Samawi yang diikuti sedikitnya 15 ribu relawan tersebut sekaligus mendeklarasikan dukungan kepada Jokowi.
Foto: Debbie Sutrisno/Antara
Peserta 'Halal Bihalal dan Silaturrahim Nasional Solidaritas Ulama Muda Jokowi (Samawi)' di Sentul, Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (10/7). Halal Bihalal dan Silaturrahim Nasional Samawi yang diikuti sedikitnya 15 ribu relawan tersebut sekaligus mendeklarasikan dukungan kepada Jokowi.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rudi Agung, Pemerhati masalah sosial.

 

Awal Agustus 2018, pendaftaran capres dibuka. KPU RI telah menetapkan tahapan, program dan jadwal penyelenggaraan Pemilihan Umum 2019. 

Pelaksanaan Pileg dan Pilpres diatur dalam PKPU Nomor 7 Tahun 2017, yang menguraikan seluruh Tahapan Program atau kegiatan. Sejak tanggal 17 Agustus 2017 hingga pelantikan pada Oktober 2019.

Khusus Pilpres, pendaftaran calon presiden dimulai 4-10 Agustus 2018. Pemilih melakukan pencoblosan pada 17 April 2019. Bila terjadi putaran kedua, pemungutan suara dijadwalkan pada 7 Agustus 2019.

Perjalanan Jokowi tak jauh berbeda dengan Ahok. Jauh sebelum digelarnya Pilkada DKI 2017, saya pernah membuat oretan bertajuk: Kisah Pak Tono dan Tamatnya Karier Ahok! (ROL, 14 September 2016).

Alhasil, pada 30 April 2017, pleno KPU DKI, Anies-Sandi mendapat suara sebesar 57,96 persen. Sedangkan Ahok - Djarot 42,04 persen. Ahok pun keok, lalu divonis penjara. 

Walau tak jelas, apa betul-betul dibui? Sebab tak seperti napi elit lain yang tampangnya masih muncul di media. Jika pun benar dibui, tak jelas juga kenapa masih saja dititipkan di Mako. Berbeda dengan napi sejenis lainnya. Dan tetiba dapat remisi, hingga bulan Agustus 2018 depan bisa dapat pembebasan bersyarat. 

Kekalahan Ahok di Pilgub DKI telah jauh diprediksi para pakar sebelum pilkada digelar. Faktor dominan yang menjatuhkan Ahok disebabkan langkah sosialnya yang justru memancing amarah warga DKI. Bahkan terakhir dianggap menodai agama hingga dijerat hukuman pidana.

Puncak kemarahan warga DKI pada Ahok ketika melakukan banyak penggusuran. Sedangkan puncak kejatuhannya saat mengusik umat Muslim. 

Fakta sosial ini terekam dalam aksi 411 dan 212. Beberapa media televisi yang dinilai mendeskriditkan umat dan memilih keberpihakannya pada Ahok, juga ditolak masyarakat. 

Belum lagi, kenyataan yang bertolak belakang dengan pencitraan justru menjatuhkan kepercayaan warga pada Ahok. Bisa dibilang: Era pencitraan sudah selesai. Benar-benar selesai. 

Begitu pun di Pilkada serentak 2018. Pemilih lebih menyukai kandidat yang cenderung orisinil, pemilih sudah mau berlelah-lelah membandingkan data dan fakta di lapangan. Tak lagi menelan mentah-mentah pencitraan. Bahkan, kotak kosong saja bisa menang.  

Kejayaan era pencitraan media dan survei sudah runtuh. Ini didukung dengan makin banyaknya sarana informasi pembanding di luar media mainstream. 

Sosial media, grup-grup di pesan elektronik seperti WhatsApp, Messenger, menjadi contohnya. Pesan antar gawai lebih cepat dan malah lebih dipercaya dibanding media utama. Agak aneh juga sebetulnya. Padahal, tak sedikit juga yang validitas informasinya meragukan.  

Terlepas semua itu, kepercayaan rakyat terhadap media massa makin terkikis. Nilai-nilai edukasi yang mulai meredup dalam dunia Pers Indonesia di tiap musim politik, membuat rakyat mencari dan membuat media alternatif serta informasi pembanding di luar mainstream.

Selain itu, faktor kepercayaan rakyat pada Jokowi, yang juga runtuh membuat karirnya makin terancam. Dua periode hanyalah sebuah mimpi bagi Jokowi, yang juga menjadi mimpi buruk bagi bangsa ini. Tagar 2019 ganti presiden bukan sekadar simbol, tapi sudah berupa kebutuhan bagi sebagian besar masyarakat. 

Tak lain karena langkah sosial Jokowi yang serupa dengan Ahok. Terutama soal anomali kebijakan yang amat dirasakan dalam kemelorotan ekonomi, kesenjangan sosial tinggi, swasembada janji yang makin lari, dan kemandulan hukum. 

Belum lagi dusta demi dusta yang sering ditampilkan di media. Hari ini A, besok B, dan semisalnya. Tak terkecuali performance Jokowi di luar negeri yang kerap viral dan malah menjadi bahan olok-olok masyarakat. Misalnya, pidato bahasa asing yang gagap meski sudah menggunakan teks. 

Rekaman sejenis itu sering viral hingga kerap menjadi bahan gunjingan di dalam dan luar negeri. Malu, begitu pendapat sebagian besar yang menyaksikannya. Sedih sekali. Caci maki dan hinaan seolah telah menjadi makanan harian anak-anak bangsa. Ini PR besar bagi Ulama. 

Lebih sedih lagi, elit yang dinilai gagal, tak lagi punya malu. Tak segera mengundurkan diri. Seperti di Jepang, misalnya. Kebanyakan malah melempar statement yang memancing gemas masyarakat. 

Contohnya: beras mahal, diet saja. Bawang mahal, tak usah makan bawang. Cabai mahal, tanam sendiri saja. Daging mahal, makan keong saja. Mau listrik turun, tak usah pakai meteran. Subsidi dicabut, rakyat jangan manja. Premium langka, beli saja pertalite. BBM naik, gunakan mobil listrik. Solusi apa ini? Apakah ini yang dimaksud revolusi mental? 

Tak heran statement ngasal dari para elit justru dijadikan bahan meme dan ledekan. Rakyat seolah putus asa. Olok-olokan menjadi pemutus dahaga kegemasan mereka. Jika begini, mau dibawa kemana bangsa ini? 

Belum selesai solusi nyeleneh dari pejabat, Islam terus disudutkan. Puncaknya dalam episode kriminalisasi Ulama dan penyudutan simbol Muslim. Terlepas langsung atau tidak dari kebijakan Jokowi, tapi sebagai penguasa tak bisa dilepaskan dari tanggung jawab pengambil keputusan. 

Di titik inilah umat mengalami klimaksnya. Tagar 2019 ganti presiden menjadi gerakan bahkan kebutuhan mereka.  

Beberapa media massa pun akhirnya mau tak mau sudah mulai melepas framing pencitraan dan perlahan membuka satu per satu anomali kebijakan Jokowi; dimana kenyataan lapangan tak pernah seirama dengan lagu pencitraan. 

Berita pun mulai tak seiring dengan manggut-manggut apa kata penguasa. Mudah-mudahan media mulai kembali ke khittah-nya: memihak keadilan, kebenaran dan kebutuhan rakyat demi kemajuan bangsa dan negara. 

Pertanyaannya kemudian: di tengah masa akhir periode karir Jokowi, siapa sosok yang laik menahkodai bangsa besar ini? Mampukah kelak media kembali ke khittahnya? Meninggalkan framing pencitraan yang meninabobokan, bahkan berpotensi merusak peradaban. 

Jokowi dan parpol koalisi pengusung sudah sadar diri dan mengambil ancang-ancang terhadap jatuhnya karir politik mantan Walikota Solo, itu. Bukankah penentu nanti juga tergantung Megawati? Politik pun sangat dinamis. 

Bisa saja kelak, sambil cek ombak, dibuatlah skenario cawapres dari sosok yang mudah meraup suara umat Muslim. Bahkan, nama Din Syamsuddin pun mulai meramaikan media massa. 

Pak Din sendiri tahun lalu diangkat sebagai Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban. Kedekatannya dengan Jokowi sudah lama. 

Mantan Ketum PP Muhammadiyah dan Ketua Dewan Pertimbangan MUI, ini, juga telah menyatakan pada media ihwal kesiapannya jika dipilih mendampingi Jokowi sebagai cawapres. Suara Muhammadiyah tidaklah kecil. Pak Din pun diterima seluruh kalangan. 

Ada pula nama TGB, yang sempat mengundang simpati umat. Dengan nama besar leluhurnya, manuver safarinya, TGB disematkan sebagai Ulama. Tapi, umat tak terkecoh. Kedekatan TGB dengan Luhut bukan rahasia. Apalagi, ia petinggi parpol Demokrat. Partai yang dalam Pilgub DKI dianggap publik justru memecah suara umat. 

Kendati demikian, manuver TGB adalah wajar. Basicnya adalah politisi. Tentu untuk mengejar atau menyelamatkan karir, sah-sah saja bermanuver apapun. Yang lucu, yang tidak terima TGB mendukung Jokowi. La wong kepala daerah, anak buah Jokowi, politisi. Ya wajar mendukung atasannya. Jangan protes pada TGB. 

Penyematan TGB sebagai ulama kan hanya dari penggiringan media. Itu pun baru muncul pascaaksi 212. Lantas mencuat seperti dulu awal terkenalnya Jokowi, Ahok, Kang Emil. Sebelas dua belas polanya. Serupa. Sama-sama mendadak jadi media darling, jadi idola yang dipuja pecinta buta. Hanya beda tempat, waktu, dan peran. 

Serupa juga dengan pola ustaz-ustaz baru yang gemar sekali menuding ini bid'ah, itu bid'ah, kofar kafir. Sama-sama mendadak jadi idola. Padahal dulu umat, jangankan tau masa lalu mereka. Kenal namanya saja tidak. Lantas melalui gurita medianya jadi deh mendadak idola. 

Lalu merasa kelompoknya yang paling benar. Dan menganggap Jokowi sebagai Ulil Amri. Padahal, makna dan syarat Ulil Amri bukan klaim sepihak. Tapi, amat gamblang dijelaskan para Ulama. Jika pada era Imam Ghazali saja sangat sulit didapati kriteria pemimpin yang memenuhi syarat, terlebih pada era saat ini. Tapi, meski bukan Ulil Amri, jangan pula memberontak. Ini jelas melanggar agama dan hukum positif. 

Nah lucunya, kebijakan-kebijakan menyengsarakan rakyat malah mereka dukung. Saat ada yang mengkritisi penguasa, malah distempel khawarij, anjing-anjing neraka. Seram sekali. Mereka pun akhirnya disebut bonglaf, anonim dari cebong salaf. Lalu gemar mengusik amaliah Muslim yang berbeda. Umat pun terbelah oleh ulah mereka. 

Sejak 2014, polarisasi bangsa ini makin menjadi-jadi. Bahkan antarsesama umat Muslim sendiri. Hal-hal demikian, yang membuat publik makin apatis terhadap Jokowi. Pokoknya apa-apa jadi salah Jokowi. Menggelikan juga.  

Lalu, ada lagi Solidaritas Ulama Muda Jokowi atau Samawi yang mendeklarasikan dukungannya pada Jokowi. Publik malah heran, kemana Samawi saat kompleksitas mendera permasalahan umat? 

Kenapa tiba-tiba muncul lalu mendukung Jokowi. Jika alasannya agar umat tidak pecah, justru langkah-langkah seperti ini malah membuat blunder. Sebab Jokowi seolah sudah menjadi momok. Akhirnya, Samawi malah tak dipercaya sebagai ulama pewaris nabi, karena menempel penguasa. Pelik. 

Meski media, elit parpol, survei, para idola dadakan terus berlelah-lelah mencitrakan Jokowi. Meski upaya menarik simpati suara Muslim dengan menggandeng tokoh-tokoh umat, publik sudah tak percaya. 

Siapapun pasangannya, asal bukan Jokowi. Opini ini sudah menghujam di masyarakat. Terutama bagi umat Muslim, pemilik suara terbanyak. Maka, sangat berat untuk dua periode. Seperti mimpi. 

Umat khawatir, manuver menggandeng tokoh Islam hanya upaya pecah belah. Bukan saja memecah suara, tapi sekadar memelihara polarisasi politik yang diciptakan sejak Pilpres 2014. Akhirnya, sesama umat Muslim bergaduh lagi: hanya karena berbeda pilihan politik dan membela idola ciptaan media massa. 

Hal-hal demikian yang justru membahayakan tatanan sosial dan ukhuwah umat. Pemaksaan meneruskan kepemimpinan Jokowi hanya upaya memelihara polarisasi. Siapapun pasangannya. 

Naifnya, umat Muslim sendiri belum memiliki alternatif mujarab. Nama-nama yang muncul menandingi Jokowi masih seputar: Gatot, AHY, Anis Baswedan, Rizal Ramli, Risma, Susi. 

Nama-nama ini tetap saja tak bisa dilepaskan dari lingkar Istana. Langsung atau tidak. Mereka pun mantan anak buah Jokowi. Bahkan ada yang masih aktif sampai sekarang. 

Lantas, siapa kira-kira pilihan ideal yang benar-benar bisa mengakomodir kebutuhan rakyat, umat, yang memuliakan Ulama dan Islam? Siapa sosok yang benar-benar bisa melaksanakan amanah UUD dan Pancasila? 

Ada yang menyebut: selama belum kembali ke UUD 1945, selama masih menggunakan UUD amandemen 2002, siapapun pengganti Jokowi, hasilnya bakal sama saja. Ujung lingkarannya tetap saja sama. 

Harapan rakyat hanya utopis: pemenangnya tetap bandar! Sekadar beda pemeran, beda kemasan, tapi masih satu lingkaran. Analisa itu ada benarnya juga. 

Bukankah saat energi rakyat dikuras dengan dagelan KMP - KIH, ujungnya malah berkoalisi? Pun saat Pilkada Serentak 2018. Elit-elit parpol berpura musuhan, tapi akhirnya berkoalisi dengan parpol pengusung penguasa hanya demi memenangkan Pilkada. Padahal sebelumnya opini terhadap parpol penguasa digiring seolah jadi musuh bersama. Unik sekali politik Indonesia. 

Bukankah ironis sekali, teriak-teriak UUD 1945 tapi yang digunakan malah UUD amandemen buah tangan reformasi. Jika demikian, untuk apa mau dibelah-belah lagi hanya karena beda pandangan politik? Toh idola yang didukung belum tentu kenal pendukungnya. Alih-alih mau membantu. Untuk apa mau diadu.

Sampai saat ini pun publik tidak mendapat alasan jelas kenapa UUD tidak juga dikembalikan ke UUD 1945. Kenapa GBHN, P4, P7, PMP, dan nilai-nilai Pancasila belum dikembalikan seperti awalnya. Selama ini hanya wacana demi wacana. Tanpa warisan Founding Father ini, masih sulit berharap banyak. 

Hal utama yang dibutuhkan sekarang, bangsa ini butuh sosok pemersatu. Bukan idola jadi-jadian yang hanya memainkan peran. Bukan sosok penebar kebencian yang hanya berpura musuhan, kemudian para pendukung terpolarisasi. Lantas saat musim pencoblosan, malah bergandeng tangan demi kekuasaan. 

Bangsa ini butuh sosok yang berani merealisasikan kembalinya UUD 1945. Bukan hanya teriak-teriak di media, tapi  yang dijadikan acuan masih UUD amandemen. 

Bangsa ini butuh sosok yang bisa jadi tauladan, minimal masih punya budaya malu: berani mundur jika tak mampu, apalagi bila jelas-jelas gagal. Yang tak menjual ayat-ayat dan agama. 

Pada akhirnya, publik menilai siapapun capres yang bakal maju, selama belum kembali ke UUD 1945, tinggal ucapkan saja: selamat untuk bandar! 

Apapun kenyataannya nanti, mari jaga selalu persatuan, tolak segala bentuk polarisasi anak-anak bangsa. Persatuan modal utama bangkitnya peradaban. Tolak pula politisasi agama. Perlu lebih jeli lagi melihat kedalaman, tak cukup dari permukaan. 

Perlu lebih skeptis lagi pada idola jadi-jadian. Idola bukanlah sosok yang cukup bermodal terkenal karena media. Melainkan sosok tauladan yang bergerak sunyi senyap namun mampu menularkan energi terwujudnya akhlak-akhlak mulia. Dan ia tak mungkin muncul hanya ketika musim Pemilu tiba. Shalaallahu alaa Muhammad.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement