Kamis 12 Jul 2018 05:30 WIB

Tangis Inggris: Football Is Not Coming Home

Permainan timnas Inggris relatif membosankan pada Piala Dunia 2018

Mario Mandzukic saat membobol gawang timnas Inggris pada laga semifinal Piala Dunia 2018 di Stadion Luzhniki Moskow, Kamis (12/7). Gol Mandzukic pada menit ke 107 memastikan kemenangan 2-1 Kroasia dan memastikan langkah mereka ke final.
Foto: http://www.thefa.com
Mario Mandzukic saat membobol gawang timnas Inggris pada laga semifinal Piala Dunia 2018 di Stadion Luzhniki Moskow, Kamis (12/7). Gol Mandzukic pada menit ke 107 memastikan kemenangan 2-1 Kroasia dan memastikan langkah mereka ke final.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy*

Inggris kembali gagal berprestasi pada pentas sepak bola antarnegara. Kendati menyandang status sebagai negara moyangnya sepak bola, kegagalan Inggris bukanlah hal yang mengejutkan. 

The Three Lions memang mampu melaju hingga ke semifinal di Piala Dunia 2018. Tapi prestasi Inggris tetap patut dipertanyakan. Sebab secara permainan, Inggris tak terlalu istimewa. Sebaliknya, Inggris tampil membosankan dan relatif hanya mengandalkan keunggulan fisik pemainnya dalam memanfaatkan situasi bola mati. 

Ini terlihat dari catatan statistik yang mana 9 dari 12 gol Inggris lahir dari proses bola mati. Langkah Inggris di Piala Dunia 2018 kali ini juga terbantu dengan undian yang menempatkan mereka mendapatkan lawan-lawan yang relatif mudah. 

Hanya Kolombia dan Kroasia yang relatif punya level permainan setara dengan The Three Lions. Terbukti dalam kedua laga itu permainan Inggris dalam 120 menit tampak inferior dibanding sang lawan. 

Jadi kegagalan Inggris di semifinal setelah takluk 1-2 dari Kroasia merupakan sesuatu yang wajar.  Kata kegagalan memang rutin melekat pada sepak bola Inggris sejak 1966. 

Slogan football is coming home yang sejak awal didengungkan fan Inggris rasanya hanya sekadar utopia jika melihat deretan fakta prestasi Inggris dalam 52 tahun terakhir. Sebab faktanya justru Inggris yang coming home (pulang) lebih dulu.

photo
meme timnas Inggris

Lantas apa yang menyebabkan negara dengan kompetisi sepak bola terbaik itu selalu sulit jadi juara? Dalam buku Soccernomics karya Simon Kuper dan Stefan Szymanski dibahas secara khusus mengapa Inggris selalu jadi pecundang di sepak bola. 

Pertanyaan tersebut ternyata bisa dijawab menggunakan pendekatan ekonomi pembangunan. Pertanyaan mengapa Inggris tak pernah juara bisa disamakan dengan pertanyaan mengapa negara yang satu bisa kurang produktif dibanding negara lain? 

Sebuah negara yang kurang produktif pasti membutuhkan impor dari negara lain. Saat penduduk suatu negara kurang terampil, pastinya produktivitas negara itu akan minim. Sehingga membutuhkan tenaga impor baik dalam hal pekerja atau barang. 

Kuper dan Szymanski mencontohkan, "Untuk belajar cara membuat pasta gigi, kamu harus berusaha membuatnya. Bukan hanya dengan mengambil kelas pelajaran cara membuat pasta gigi. Tapi saat kamu selalu impor pasta gigi, maka kamu tak akan pernah bisa belajar," begitu kutipan dari buku Soccernomics (halaman 15). 

Karena alasan itu, banyak negara yang kemudian yang melarang atau mengenakan pajak tinggi dalam hal impor barang. Ini agar negara mereka mengurangi ketergantungan impor dan berusaha untuk menciptakan sendiri segala barang kebutuhan, alias substitusi impor. 

Cara ini dilakukan Jepang usai luluh lantak usai Perang Dunia II. Sejak itu Jepang berusaha sendiri menciptakan segala barang kebutuhan, utamanya elektronik dan kendaraan bermotor. Dengan cara itu, Jepang mampu bangkit dan kini menjadi raksasa ekonomi dunia. 

Konsep substitusi impor tersebut nyatanya berlaku di sepak bola. Dalam konteks sepak bola Inggris, banyak pengamat yang menilai bahwa konsep substitusi impor ini tak berjalan di Liga Primer Inggris. Akibatnya, kompetisi Liga Inggris dijejali pemain asing. 

Steven Gerrard pernah berujar usai kegagalan Inggris lolos ke putaran final Piala Eropa 2008, "Terlalu banyak pemain asing yang datang. Ini mempengaruhi pemain nasional kami yang belum siap (dengan serbuan pemain asing)."

Pernyataan Gerrard saat itu masuk akal. Sebab nyatanya, kala itu hanya sekitar 37 persen pemain asli Inggris yang mendapat tempat bermain di tim utama. Bahkan kini persentasenya terus menurun di kisaran 30-an persen. Ini kemudian yang disorot oleh Kuper dan Szymanski lewat bukunya. 

photo
Statistik asal negara dari pemain Liga Primer yang menunjukkan penurunan persentase pemain asli Inggris dari tahun ke tahun

Lantas benarkah banjirnya pemain impor yang menjawab pertanyaan mengapa Inggris tak pernah menang di Piala Dunia sejak 1966? Hasil riset justru tidak seratus persen membenarkan tesis itu. Sebab, jumlah 37 persen pemain asli Inggris itu tergolong tinggi dan bisa menunjang the Three Lions untuk menghasilkan 23 pemain yang berkualitas di timnas.

Substitusi impor pemain asing dinilai tak akan mengatasi persoalan. Sebab di sisi lain, substitusi impor punya dampak lain, yakni produk domestik selalu menjadi anak emas sekalipun kualitasnya pas-pasan. 

Padahal persaingan dengan produk impor mau tak mau akan memicu produk domestik untuk terus memperbaiki kualitas dengan kompetitor asing. Dalam konteks sepak bola Inggris, Kuper dan Szymanski menilai, masalah sesungguhnya justru ada pada produk sepak bola Inggris yang kurang berkualitas. 

Karena itu, usai kegagalan di Piala Dunia 2014, ada usaha dari federasi sepak bola Inggris untuk memperbaiki kualitas pemain muda. Sejak 2010, FA memberlakukan regulasi baru yang mana klub wajib untuk mendaftarkan minimal delapan pemain didikan asli klub Inggris. 

Hasil dari regulasi ini berbuah sekitar enam tahun kemudian. Kualitas pemain muda asli Inggris jadi meroket. Nama-nama bintang muda baru macam Harry Kane, Dale Alii, Jese Lingard, hingga Marcus Rashford bermunculan.

Di level usia muda, Inggris mencatat prestasi menjadi juara dunia U-17 dan juara Eropa U-19 pada 2017. Walhasil, usaha FA pun secara tak langsung mampu menutupi masalah Inggris yakni substitusi pemain impor dengan produk lokal berkualitas. 

photo
Timnas usia muda Inggris yang menjuarai Piala Dunia U-17 2017

Buktinya, klub seperti Manchester United lebih memilih melepas Zlatan Ibrahimovic karena sudah punya Rashford. Atau Spurs yang memilih mendepak pemain asing macam Vincent Jansen demi Harry Kane.    

Tapi yang jadi persoalan Inggris bukan sekadar substitusi impor, melainkan juga promosi ekspor. Dalam ilmu ekonomi, promosi ekspor adalah usaha untuk memasarkan produk domestik untuk diekspor keluar negeri. Tujuannya adalah untuk memperlebar pasar dan mendongkrak citra produk dalam negeri.

Konteks promosi ekspor ini bisa ditarik ke persoalan sepak bola Inggris. Sebab persoalan sepak bola Inggris adalah tenaga lokal pemain Inggris kurang laku untuk diekspor. Ya, berkebalikan dengan konsep substitusi impor, masalah sepak bola Inggris adalah promosi ekspor pemain asli Inggris. 

Inggris hanya laku mengekspor sisi binis Liga Primer. Sebaliknya, produk pemain asli Inggris hanya "mendem" di pasar domestik. Hal yang membuat pemain Inggris kurang kreatif dan adaptif pada kultur sepak bola lain di luar Inggris. 

Pengaruhnya terasa pada sisi teknis dan mental pemain Inggris yang cenderung seragam. Ini tergambar di laga perdelapan final versus Kolombia dan di semifinal lawan Kroasia. Di dua laga itu, permainan Inggris selama 120 menit nyaris tanpa kreativitas dan selalu dalam tekanan.

Hal ini berbeda dengan Kolombia dan Kroasia yang mana mayoritas pemainnya mengecap asam garam di berbagai negara. Sehingga akhirnya pemain macam Juan Cuadrado dan Yerry Mina atau Luca Modirc, Ivan Perisic, maupun Mario Mandzukic, mampu menjadi pembeda yang mengangkat mental dan performa rekan-rekannya. 

Di timnas Kroasia hanya dua dari pemainnya yang bermain di kompetisi domestik. Sisanya malang melintang di berbagai kompetisi papan atas, seperti Liga Primer, La Liga, Liga Italia, maupun Bundesliga. Ini yang membuat pemain mereka secara mental dan teknis jauh lebih kaya.  

Bagaimana dengan skuat Inggris? Tak ada satu pun dari skuat Inggris yang bermain di luar Inggris!

Walhasil, kekalahan Inggris dari Kroasia tidaklah mengejutkan. Secara teknis dan mental, pemain Inggris hanya teruji di kandang mereka sendiri. Berbeda dengan Kroasia yang pemainnya banyak makan banyak asam garam di berbagai kompetisi.

Mungkin ada baiknya timnas Inggris berkaca pada kondisi tim yang mayoritas pemainnya bermain di kompetisi domestik dalam negeri macam timnas Italia dan Spanyol. Kedua tim itu pun kini sedang terpuruk di pentas sepak bola dunia. 

Berkaca dari deretan fakta itu kita jadi patut bertanya. Apakah problem substitusi impor atau promosi ekspor yang membuat Inggris selalu coming home?

Peringkat Peserta Piala Dunia Berdasarkan Ekspor Pemain ke Luar Negeri:

1 Senegal 23 pemain
2 Argentina 22
2 Islaandia 22
2 Belgia 22
2 Swiss 22
3 Kroasia 21
3 Maroko 21
3 Nigeria 21
3 Panama 21
3 Swedia 21
3 Uruguay 21
4 Brasil 20
4 Kolombia 20
4 Denmark 20
4 Serbia 20
5 Polandia 19
6 Portugal 17
6 Australia 17
6 Kosta Rika 17
6 Tunisia 17
7 Mesir 16
8 Peru 15
8 Jepang 15
9 Prancis 14
9 Iran 14
10 Meksiko 12
11 Korsel 10
12 Jerman 8
13 Spanyol 6
14 Arab Saudi 3
15 Rusia 2
16 Inggris 0

 

* Penulis adalah jurnalis Republika

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement