Rabu 11 Jul 2018 07:12 WIB

Tik Tok dan Menjaga Genggaman Putra-Putri Kita

Remaja membutuhkan ruang ekspresi yang sehat.

Aplikasi Tik Tok buatan Cina.
Foto: South China Morning Post
Aplikasi Tik Tok buatan Cina.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ichsan Emerald*

Datang dengan pesta, diblokir pun disambut dengan gembira. Itulah aplikasi buatan perusahaan teknologi asal Cina, Tik Tok. Bagi anda yang hobi membolak-balik media sosial, terutama Facebook dan Instagram, Tik Tok mungkin terlalu amat sering didengar.

Aplikasi ini membuat heboh ketika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Selasa (3/7) mengumumkan pemblokiran Tik Tok. Ada beragam hal yang menjadi dasar namun yang terutama adalah pornografi, asusila, dan pelecehan agama.

Dirjen Aplikasi Informatika (Aptika) Kemkominfo Semuel Abrijani mengatakan pemblokiran didasari dari hasil pemantau Tim AIS Kominfo, pelaporan dari Kementerian Pemperdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA),  Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan laporan masyarakat.

Hasil pemantauan pemerintah, ia menyebut, banyak muatan konten negatif dari aplikasi itu. Bahkan ia mencatat ada tiga ribu laporan bernada negatif yang meminta Tik Tok untuk diblokir.

Berita ini semakin heboh ketika sebelumnya, Selebgram @bowoo_alpenliebe yang memiliki akun Tik Tok Bowoo_Outt_Siders menjadi sorotan. Remaja berusia 13 tahun asal Tangerang Selatan, yang memiliki pengikut hingga 840 ribu akun ini, disebut menggelar jumpa fans.

Jumpa pun tak cuma-cuma, para fans Bowo harus membayar Rp 80 ribu hingga Rp 100 ribu untuk bisa berfoto atau sekedar melihatnya dari belakang. Hal ini memicu cibiran hingga hujatan keras dari warganet. Hinaan dari warganet pun sudah di luar batas kepada remaja pria ini.

Sejatinya semua orang awalnya tutup mata, bahkan menikmati aksi para bocah ini menyalurkan waktu luangnya. Paling tidak, yang tak suka hanya mengumpat dalam hati atau melapor ke aduankonten.id milik Kemenkominfo.

Namun ketika Bowo menggelar jumpa pers dan melibatkan uang yang tak sedikit, semua mulai bersuara. Rasa kesal sebagian orang lebih tertuju kepada uang yang tercurahkan bukan kepada lepas kendalinya anak-anak remaja.

Fenomena booming aplikasi sebenarnya hal yang jamak terjadi di era ponsel pintar. Sebagian dari kita tentu tak lupa dengan meledaknya popularitas permainan Pokemon Go dan aplikasi Live Streaming Bigo. Khusus yang terakhir, Pemerintah juga memblokir Bigo Live dengan alasan pornografi meski pada akhirnya diizinkan kembali.

Implikasinya, ada kelompok tertentu dalam masyarakat yang diuntungkan dengan booming-nya aplikasi tersebut, tentu dengan cara yang instan pula. Sementara di saat yang sama, kelompok lainnya menjadi pecinta seleb dadakan tersebut.

Selain itu, Orang tua harus menyadari saat ini adalah era dimana mereka tak lagi bisa mengontrol putra-putrinya. Hanya dengan lima jari dalam genggaman, anak-anak bisa berselancar, mencari informasi ke mana saja.

Maka tak heran bila anak-anak ini bisa dengan mudah mengakses beragam hal dari 'Hape'. Apalagi hanya sekadar mengakses Tik Tok yang sebelumnya legal.

Maka dari itu, satu-satunya benteng utama menjaga putra-putri kita dari bahaya internet adalah keluarga. Kita juga tak bisa menjadikan pemerintah sebagai dewa penyelamat, karena akan ada aplikasi-aplikasi serupa yang menjejali putra-putri kita seperti halnya Tik Tok.

Seperti yang Bowo katakan kepada sebuah media online, ia akan mencari cara lain agar bisa tetap berekspresi bila tidak ada Tik Tok.

Selain itu jangan salah pemerintah juga telah beberapa kali memblokir aplikasi-aplikasi tak ramah anak dan menjurus pada pornografi, seks bebas dan LGBT. Contohnya, seperti yang telah disebut Bigo Live, Vimeo, Reddit, Telegram, Imgur, Grindr, dan Blued.

Saya memuji langkah pemerintah yang cepat menutup akses aplikasi seperti ini. Selain itu pemerintah juga cepat mengingatkan provider aplikasi agar benar-benar menjaga konten.

Seperti halnya CEO Telegram dahulu, kini CEO Tik Tok Kelly Zhang pun langsung buru-buru datang ke Indonesia. Ia berjanji akan segera menjaga konten Tik Tok agar tak ada video-video negatif lagi.

Namun kita juga perlu ingat, jangan-jangan remaja Indonesia lebih banyak menghabiskan waktu bermain ponsel karena tak ada lagi ruang kreatif yang bisa mereka gunakan.

Tak hanya ruang kreatif, ruang bermain pun amat kurang bahkan di wilayah Jabodetabek sekalipun. Hal ini yang patut kita sadari semua, karena bila mereka tak memiliki ruang mengekspresikan diri, jangan harap bisa membendung rasa ingin tahu mereka lewat ponsel atau komputer.

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement