Jumat 06 Jul 2018 09:10 WIB

Bisakah Penerapan Hukum Aceh di Kasus Suap Gubernur Aceh?

Aceh masih tunduk pada KUHP dan regulasi lainnya seperti UU Tipikor

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Esthi Maharani
Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf memakai rompi orange usai dilakukan pemeriksaan sebagai tersangka oleh KPK, Jakarta, Kamis (5/7) dinihari. Komisi Pemberantasan Korupsi menahan Gubernur Aceh atas kasus dugaan suap terkait pembahasan anggaran dana otonomi khusus dalam penganggaran antara provinsi dan kabupaten tahun anggaran 2018.
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf memakai rompi orange usai dilakukan pemeriksaan sebagai tersangka oleh KPK, Jakarta, Kamis (5/7) dinihari. Komisi Pemberantasan Korupsi menahan Gubernur Aceh atas kasus dugaan suap terkait pembahasan anggaran dana otonomi khusus dalam penganggaran antara provinsi dan kabupaten tahun anggaran 2018.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Gubernur Aceh Irwandi Yusuf telah resmi menjadi tersangka kasus dugaan suap pengalokasian dan penyaluran Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) tahun anggaran 2018. Selain Irwandi, lembaga antirasuah itu juga menetapkan tiga tersangka lainnya yaitu Hendri Yuzal atau Ajudan Irwandi, Syaiful Bahri Dirut PT Tamitana dan Ahmadi Bupati Bener Meriah.

Setelah penetapan keempat tersangka tersebut, sejumlah seruan soal penerapan hukuman syariat terhadap mereka jika nantinya terbukti melakukan korupsi mengemuka. Hal itu terkait dengan berlakunya sejumlah hukuman terhadap pelanggaran-pelanggaran jinayah di Aceh.

Chairul Fahmi, pengajar di UIN Ar-Raniry yang sejak 2009 meneliti penerapan syariat jinayah di Aceh mengatakan, dalam regulasinya qanun soal jinayah di Aceh juga belum sempurna. Ia menilai, qanun hanya mengambil sepotong-sepotong hukum Islam, bukan payung hukum yang menyeluruh. Dengan itu, perdebatan apakah korupsi masuk tindakan pencurian atau rasywah semata tak relevan di Aceh karena toh tak bisa diundangkan seturut syariat Islam.

(Baca: ICW: Dana Otsus Sering Diselewengkan)

Chairul mencontohkan, dalam qanun yang diatur hanya jinayah dengan hukuman ta'zir, seperti perjudian, konsumsi minuman keras, dan perbuatan mesum. Berbeda dengan hudud (pembunuhan, pencurian, perzinahan) yang jenis hukumnya merujuk pada Alquran, hukum jinayah ta'zir bergantung putusan hakim.

Untuk pidana-pidana jenis hudud, Aceh masih tunduk pada KUHP dan regulasi lainnya seperti UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang sama dengan yang berlaku di seluruh Indonesia.  Selain itu, non-Muslim di Aceh juga bisa memilih tak ditindak dengan Qanun Jinayat jika hendak dihukum dengan KUHP saja.

Artinya, di Aceh saat ini memang tak ada qanun berdasarkan syariat Islam yang mengatur hukuman untuk tindak pidana korupsi. Dengan begitu, kedua kepala daerah yang tertangkap hanya bisa diproses hukum seturut undang-undang nasional dan semisal nantinya terbukti bersalah juga hanya bisa dihukum dengan hukum pidan yang berlaku secara nasional.

Kabiro Humas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengatakan dalam proses hukum kasus ini, KPK hanya fokus menangani kasus dugaan korupsi menggunakan UU Tindak Pidana Korupsi.

"KPK memiliki wewenang untuk tangani tindak pidana korupsi yang diatur UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, itu prisnsip dasar dan apakah ada aturan lain di Aceh, tentu saja itu bukan domain KPK kami fokus UU Tipikor terlebih dahulu," ujar Febri , Jumat (6/7).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement