Kamis 12 Jul 2018 10:42 WIB

Menuju Rumah Bebas Sedotan Plastik

Diperkirakan di Indonesia 93,2 juta batang sedotan digunakan tiap hari.

Sedotan plastik, salah satu penyumbang polutan terbesar di dunia.
Foto: EPA
Sedotan plastik, salah satu penyumbang polutan terbesar di dunia.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Indira Rezkisari*

Sejak kecil saya selalu diajarkan orang tua saya untuk tidak membuang sampah sembarangan. Ketika menjadi ibu, saya otomatis mengajarkan hal yang sama ke anak saya.

Jangan heran, kalau anak saya yang tujuh tahun usianya bisa dengan spontannya berteriak ke ibunya jika melihat orang buang sampah sembarangan. "Ibu, ada yang buang sampah nggak ke tempat sampah," kata anak saya, kira-kira begitu dia akan berkomentar.

Membaca kabar dari luar negeri kalau KFC Singapura tidak lagi akan menyediakan sedotan plastik untuk pelanggannya, tentu saya menyambutnya gembira. Setahu saya KFC Indonesia sudah lebih dulu menggagas hal serupa, tidak menyediakan sedotan, sejak tahun lalu.

Upaya ini penting karena sedotan sering saya temukan dibuang sembarangan begitu saja. Ukurannya yang kecil mungkin membuat sedotan dianggap sampah yang sepele.

Sedotan padahal adalah sampah dengan kontribusi tinggi penyebab polusi laut. Berdasarkan data dari penelitian Divers Clean Action, diperkirakan pemakaian sedotan di Indonesia setiap harinya mencapai 93,2 juta batang. Jika semua sedotan tersebut dibentangkan, panjangnya sama seperti lima kali perjalanan pulang pergi Jakarta-Papua.

Bayangkan. Lima kali perjalan pulang pergi!

Indonesia menduduki posisi nomor dua di dunia sebagai polutan plastik. Dan, sedotan plastik merupakan satu dari 10 polutan plastik terbesar.

Sampah sedotan tidak seperti sampah wadah cairan pencuci piring, sasetan kopi, atau cairan pelembut pakaian yang bisa didaur ulang menjadi aneka kerajinan. Sampah sedotan juga tidak seperti bekas botol minum plastik atau bekas gelas air mineral. Biasanya pemulung kerap memisahkan sampah-sampah yang bernilai itu untuk dijual kembali.

Sedotan, berhubung ukurannya kecil, tidak dilirik pemulung. Akhirnya, hanya menjadi sampah yang tidak berguna.

Data tersebut terus terang membuat saya berpikir. Saya harus mengurangi pemakaian sedotan.

Di rumah saya penggunaan sedotan terbanyak berasal dari susu UHT anak-anak. Kalau sehari satu anak minum tiga susu UHT saja, artinya dalam sebulan dia menyumbang 90 sampah sedotan. Itu baru satu anak. Di rumah saya ada dua anak. Artinya, rumah saya saja minimal menyumbangkan 180 sampah sedotan dalam satu hari.

Dalam satu bulan, dua anak kecil di rumah saya sudah menyebabkan 2.160 sampah sedotan susu. Sementara dari 258 juta penduduk Indonesia, sekitar 32 persennya adalah anak-anak atau berjumlah 82,56 juta jiwa. Bayangkan kalau 80 juta jiwa anak-anak itu menggunakan tiga sedotan setiap harinya. Ya, 240 juta sampah sedotan dihasilkan tiap hari.

Itu baru di Indonesia. Pemerintah Inggris saja mencatat tiap tahun ada 8,5 miliar sedotan plastik terbuang. Inggris namun sudah lebih tanggap. Mereka menggagas rencana kerja selama 25 tahun ke depan dengan tujuan menghilangkan pemakaian sampah plastik yang dapat dihindari.

Hidup bebas sedotan, ya, tidak mudah. Tapi bisa.

Mulai dari hal kecil dulu. Saya memilih membeli susu ukuran besar, literan bukan ukuran kecil 125 ml, dan meminumnya dengan gelas. Hal yang sama saya lakukan untuk jus serta minuman kemasan lain. Repot, karena harus mencuci gelas, ya itu risiko.

Saya memilih repot. Saya tidak sampai hati melihat foto kuda laut yang berpegangan dengan cotton bud, melihat foto yang mulanya dikira ubur-ubur namun ternyata sampah kantong plastik, hingga membaca berita paus mati yang di perutnya banyak sekali sampah plastik.

Membeli sedotan yang bisa dipakai berkali-kali juga akan membantu mengurangi pemakaian sedotan. Sedotan dari bambu, bahan metal, dan bahan lain praktis karena bisa dibawa keluar rumah.

Setiap membeli kopi susu melalui layanan ojek daring, saya selalu berpesan tidak pakai sedotan. Di kantor atau di rumah, kemasan plastik di atasnya cukup disobek atau digunting rapi dan diseruput jika kebetulan tidak memiliki sedotan non-plastik.

Memang menggunakan sedotan lebih praktis. Tapi bayangkan dampaknya. Bayangkan sedotan mengambang di laut kita yang indah dan mengotori pemandangan.

Sedotan kesannya sekali lagi sepele. Tapi saya rasa penting menjadikan gerakan bebas sedotan sebagai kampanye nasional yang dilakukan langsung Presiden. Supaya dampaknya terasa sampai ke penjuru negeri maritim ini. Kalau Inggris bisa, pasti Indonesia juga bisa.

Setelah bisa membebaskan diri dari sedotan, bukan berarti pekerjaan rumahnya berhenti. Masih ada mengurangi kebiasaan menggunakan plastik sekali pakai yang juga tidak kalah pentingnya.

Satu per satu, dimulai dari sedotan dulu, ya.

*) penulis adalah redaktur gaya hidup Republika.co.id

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement