REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden kelima Megawati Soekarno Putri pernah meminta Menteri Kehakiman saat itu Yusril Ihza Mahendra untuk membuat draf Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor BLBI yang telah menyelesaikan kewajibannya. Permintaan itu diutarakan oleh Megawati pada salah satu sidang kabinet.
"Dalam sidang kabinet yang singkat itu Presiden Megawati mengatakan 'Yusril susun (draf Inpres), memang tidak mengatakan Menteri Kehakiman untuk menyusun, hanya mengatakan 'Yusril susun'," kata Kwik Kian Gie dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (5/7).
Kwik bersaksi untuk terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung. Selaku ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) periode 2002-2004, Syafruddin didakwa bersama-sama dengan Ketua KKSK Dorojatun Kuntjoro-Jakti serta pemilik BDNI Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim dalam perkara dugaan korupsi penerbitan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham yang merugikan keuangan negara Rp 4,58 triliun.
Sidang kabinet yang dimaksud Kwik terjadi di Istana Negara sekitar 2001-2002 saat ia menjabat sebagai kepala Bappenas. Selain Kwik, sidang kabinet itu juga dihadiri Menko Ekui Dorodjatun Kuntjoro-Djakti, Menteri Keuangan (Menkeu) Boediono, Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi, Jaksa Agung MA Rahman, dan Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra.
Kwik mengaku tetap tidak setuju penerbitan SKL BLBI. Namun, ia mengatakan, Kwik akhirnya Megawati tetap memutuskan untuk menerbitkan SKL kepada obligor yang kooperatif, termasuk pemilik BDNI Sjamsul Nursalim.
"Yang mengusulkan penerbitan SKL berdasarkan Inpres itu seingat saya Pak Syafruddin. Inpres itu lahir sebagai pelaksanaan UU Propenas dan Tap MPR yang mengatakan bahwa dengan adanya krisis ini tidak memberikan kenyamanan dan ketidakpastian jadi perlu diberi kepastian hukum lagi, itulah makanya instruksi presiden dibuat," jelas Kwik.
Inpres itu dikeluarkan pada 30 Desember 2002. Yusril Ihza Mahendra yang juga hadir dalam sidang tersebut sebagai penasihat hukum Syafruddin lalu membantah keterangan Kwik tersebut.
"Yang menyusun inpres itu Sekretaris Kabinet (Seskab) bukan Menteri Kehakiman atau Menkumham. Menkumham itu mendraf rancangan UU. Pada waktu Presiden Megawati sudah ada UU 10/2004 mengenai Peraturan Pemerintah kalau Inpres itu 100 persen yang mengeluarkan Seskab Pak Bambang Kesowo bukan Yusril Ihza," jelas Yusril.
Yusril pun menunjukkan salinan Inpres 8 tahun 2002 yang ditandatangani Megawati dan dikeluarkan oleh Deputi Sekretaris Kabinet bidang Hukum dan Perundang-undangan Lambok V. Nahatands. Yusril menerangkan jika menkumham yang mengeluarkan maka pihak yang menandatangani Dirjen Perundang-undangan Kemenkumham.
"Saat rapat kedua Presiden mengatakan 'Ya ini nasib saya mengambil keputusan-keputusan yang tidak populer'. Saat Presiden mau memutuskan seperti itu, saya katakan 'Saya rela pelan-pelan mati', Pak Bambang Kesowo bertanya 'Kenapa mati mas?', saya katakan 'Saya tidak bisa jelaskan sekarang, pokoknya SKL itu akan menimbulkan kesulitan di kemudian hari'," balas Kwik.
Bambang Kesowo lalu membuat memo dan Presiden pun menutup sidang kabinet tanpa membuat keputusan. "Baru sidang ketiga dibuat inpres dan meminta 'Yusril tolong disusun', jadi perintah Presiden Megawati ke Pak Yursil definitif untuk menyusun draf," jelas Kwik.
Namun, Yusril kembali membantahnya. "Kebetulan saya pernah menjadi menteri kehakiman dan Menteri Sekretaris Negara, saat menjadi Mensesneg mendraf inpres, kalau Menteri Kehakiman mendraf RUU," bantah Yusril.