REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP UI Aditya Perdana melihat, satu hal menarik yang dapat terlihat dari Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2018 yaitu adanya pergeseran perilaku pemilih. Hal ini diindikasikan dari hasil pilihan pemilih yang mengejutkan dan di luar prediksi dari lembaga survei yang intens dalam memonitor perilaku pemilih menjelang pilkada.
Aditya mencatat, sejumlah pemilih yang merasa pilihannya sangat dipengaruhi oleh faktor emosional masih kuat. Tapi, di beberapa provinsi, seperti Sulsel, Jabar, ataupun Kalbar, pemilih nampaknya berusaha keras untuk melepaskan diri dari tekanan faktor emosional tadi. "Misalnya dari dinasti politik ataupun politik identitas," tuturnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Selasa (4/7).
Tren ini menciptakan tantangan baru bagi para politikus dan partai politik dalam Pemilu 2019 nanti. Yakni, bagaimana strategi menjual ‘diri’ kepada pemilih yang harus dikemas secara baik. Aditya menjelaskan, bagi pemilih, Pemilu 2019 adalah sarana yang baik untuk mulai melepaskan diri dari tekanan yang mengganggu pilihan mereka.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J. Vermonte menilai, terjadi kedewasaan pemilih di hampir tiap daerah pada Pilkada kemarin. Tren ini terlihat dari fenomena di mana pemilih mulai mendasarkan pilihan pada kebutuhan akan kepala daerah yang memiliki kemampuan governability, pelayanan publik dan transparansi.
Philips mengatakan, kedewasaan pemilih terutama terlihat di lima provinsi besar termasuk Jawa Barat dan Jawa Timur. Pemilih cenderung memilih Ridwan Kamil yang teknokratis dan Khofifah, sosok non-darah biru. "Ini merupakan pertanda baik," ujarnya dalam diskusi media di kawasan Senayan, Jakarta, Senin (2/7).
Contoh lain ditemukan Philips di Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan. Nurdin Abdullah unggul atas lawannya yang disebut sebagai penerus dinasti. Kemenangannya mulai memperlihatkan bahwa pemilih memperhatikan apakah seorang calon akan memperbaiki daerahnya, bukan berdasar dinasti.
Tren ini tidak terjadi tanpa sebab, melainkan konsekuensi logis dari desentralisasi otonomi daerah yakni ketika pemilu mulai merambah tingkat daerah. "Masyarakat jadi semakin mencari tokoh pemimpin yang dekat dengan rakyat," ucap Philips.