REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KPK berencana menghadirkan dua mantan menteri dalam sidang perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim terkait pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kedua menteri negara koordinator bidang ekonomi, keuangan, dan industri (ekuin), yakni Kwik Kian Gie dan Rizal Ramil.
"Untuk semakin memperkuat proses pembuktian kasus BLBI ini sidang selanjutnya akan dilakukan Kamis (5/7) pagi, saksi yang akan dihadirkan di antaranya Kwik Kian Gie, Edwin Gerungan, Rizal Ramli, I Putu Gede Ary Suta dan lainnya," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Selasa (3/7).
Kwik Kian Gie adalah mantan menko ekuin sekaligus ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) pada periode 1999–2000. Edwin Gerungan merupakan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) periode 1999.
Rizal Ramli adalah Menko Ekuin sekaligus ketua KKSK periode 2000-2001. Sementara I Putu Gede Ary Suta adalah mantan ketua BPPN yang menggantikan Edwin Gerungan.
"Kasus BLBI dengan kerugian negara yang sangat besar ini, perlu dikawal bersama,” kata Febri.
Febri mengatakan BPK sebagai lembaga negara telah melakukan perhitungan kerugian keuangan negara. Ia menyebutkan menyimpulkan ada kerugian negara Rp 4,8 triliun.
“BPK merupakan institusi yang kredibel dan berwenang untuk menghitung kerugian negara tersebut," tambah Febri.
Febri menjelaskan KPK membaca ada pendapat dari sejumlah pihak yang mencoba membentuk wacana seolah-olah audit BPK yang menghitung kerugian negara saat ini dapat batal demi hukum. "Hal tersebut sangat kami sayangkan,” kata dia.
Febri mengatakan KPK percaya hakim akan mempertimbangkan dengan adil karena kasus BLBI ini. “Termasuk, salah satu kasus dugaan korupsi yang sangat merugikan bangsa ini," kata Febri.
Pada Senin (2/7) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jaksa KPK juga telah mengajukan sejumlah saksi penting dari pejabat BPPN, yaitu mantan Wakil Ketua BPPN Raden Eko Santoso Budianto, mantan Deputi Bidang Asset Management Investment (AMI) BPPN Stephanus Eka Dasawarsa Sutantio; mantan Kepala Loan Work Out (LWO) BPPN Dira K Mochtar; dan Team Leader LWO-I Asset Management Credit (AMC) BPPN 2000-2002 Thomas Maria.
"Para saksi menerangkan bahwa kewajiban SN (Sjamsul Nursalim) belum final closing,” kata dia.
Dengan demikian, SN belum memenuhi kewajibannya sesuai dengan yang diatur Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA). Sedangkan, terkait penyerahan aset dari bank BDNI terdapat aset berupa utang petambak sebesar Rp 4,8 triliun yang saat diserahkan kepada BPPN dalam kondisi macet.
Terdakwa dalam perkara ini adalah ketia BPPN periode 2002-2004 Syafruddin Arsyad Temenggung. Ia didakwa bersama-sama dengan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorojatun Kuntjoro-Jakti serta pemilik BDNI Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim.
Perkara ini terkait dugaan korupsi penerbitan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham yang merugikan keuangan negara Rp 4,58 triliun. BDNI adalah salah satu bank yang dinyatakan tidak sehat dan harus ditutup saat krisis moneter pada 1998.
Berdasarkan penghitungan BPPN, BDNI per 21 Agustus 1998 memiliki utang (kewajiban) sebesar Rp47,258 triliun. Sedangkan aset yang dimiliki BDNI adalah sebesar Rp 18,85 triliun.