Senin 02 Jul 2018 05:19 WIB

Catatan Perjalanan dari Baghdad, Irak

Baghdad kembali berjaya ketika Saddam Husein berkuasa di Irak (1979-2003)

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Baghdad. Kota Seribu Satu Malam ini selalu menjadi kerinduan saya untuk berkunjung. Sejak kanak-kanak, Baghdad sangat akrab di telinga saya. Ketika guru mengaji di kampung mendongeng kisah "Seribu Satu Malam", Baghdad pastilah disebut. Juga Khalifah Harun al-Rasyid, Abu Nawas, Syahruzad, Syahruzar, Sinbad, dan Aladin.

Bahkan anak perempuan kami pun saya namai Shahruzad, tepatnya Rosa Syahruzad Mashuri, sebagai bentuk kekaguman pada perempuan cantik yang telah menyelamatkan kaumnya. Alkisah, ada seorang raja, Syahruyar namanya. Sang raja punya istri cantik namun selingkuh. Ia pun sakit hati dan melampiaskannya dengan membunuh setiap perempuan yang diperistri pada pagi harinya.

Tersebutlah nama Syahruzad yang mendapat giliran diperistri sang raja. Selain cantik, Syahruzad pandai mengambil hati sang raja, dengan kisah-kisah menawan setiap malamnya. Ketika pagi tiba, Syahruzad sengaja menggantung cerita yang menegangkan itu. Sang raja pun tertarik mengikuti cerita selanjutnya pada malam berikutnya.

Malam demi malam pun berlalu, hingga tak terasa Syahruzad sudah bercerita hingga 1.001 episode/malam. Pada malam yang ke-1.001, sang raja akhirnya jatuh cinta. Syahruzad pun selamat dari pembunuhan dan sekaligus telah menyelamatkan banyak perempuan lain.

Hingga kini belum jelas siapa pengarang kisah "Seribu Satu Malam" itu, yang menciptakan tokoh rekaan Syahruyar dan Syahruzad, untuk memulai kisah yang menawan itu. Yang jelas, kisah "Seribu Satu Malam" dan tokoh-tokoh imajinatif lainnya tercipta pada masa Khalifah Harun al-Rasyid (766-809 M). Periode pemerintahan (786-803 M) khalifah kelima dari Kekhalifahan Abbasiyah ini dikenal sebagai masa keemasan Islam (the Golden Age of Islam).

Pada masa itu, Baghdad (ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah) yang berada antara Sungai Eufrat dan Tigris menjadi pusat peradabad dunia. Istana-istana dibangun megah. Rakyat hidup sejahtera, aman, dan damai. Perdagangan maju pesat.

Baitul Hikmah didirikan--berfungsi sebagai perguruan tinggi, perpustakaan, penelitian, dan penerjemaahan. Baghdad pun menjadi kiblat para penuntut ilmu. Para sastrawan dan seniman dimanjakan. Para ulama, akademisi, dan ilmuwan dimuliakan.

Karena itu, ketika belajar sejarah episode kehancuran Baghdad oleh tentara Mongol, hati saya pun tersayat. Serangan tentara Mongol, dipimpin Hulagu Khan, cucu Jengis Khan, tahun 1258, telah mengakhiri kejayaan peradaban Islam.

Dalam sejarah digambarkan, serangan itu telah menyebabkan Baghdad hancur total. Banyak penduduknya dibantai. Perpusatakaan dibakar, termasuk Baitul Hikmah. Puing-puingnya dibuang ke Sungai Tigris. Invasi Mongol ini telah mengakhiri lima abad Kekhalifahan Abbasiyah dengan khalifah terakhir Musta’sim Billah.

Pada masa sejarah modern, Baghdad kembali berjaya ketika Saddam Husein berkuasa di Irak (1979-2003). Saat itu, Saddam dikenal sebagai pemimpin terkuat di Timur Tengah. Kekuatan militernya pun sangat digdaya. Tak mengherankan bila ia ditakuti lawan dan dihormati kawan.

Meskipun Saddam juga dikenal sebagai pemimpin diktator-otoriter, bahkan cenderung kejam, kota-kota di Irak sangat maju, terutama Baghdad. Ia bangun istana-istana megah. Juga universitas, museum, dan gedung-gedung pemerintahan. Jalan-jalan pun sangat bersih, taman-taman sangat rapi.

Namun, sejarah ternyata berulang. Konspirasi global pimpinan Amerika Serikat (AS) telah menghancurkan semuanya. Senjata pemusnah massal yang menjadi dalih serangan hingga kini tak terbukti.

Invasi yang dikomandani AS pada 2003 bukan hanya meruntuhkan kekuasaan rezim Saddam Husein, tapi juga menjerumuskan bangsa dan negara Irak dalam kehancuran. Bangunan-bangunan megah semasa Saddam banyak yang rata dengan tanah. Bangsa Irak pun terjerumus dalam konflik sektarian berkepanjangan.

Apalagi, ketika muncul kelompok teroris yang menamakan diri ISIS (Islami State of Iraq and Syam/Syria) empat tahun lalu. Kelompok ini sempat menguasai wilayah luas di Irak dan Suriah, sebelum dihabisi tentara Irak beberapa bulan lalu. Meskipun ISIS tidak berhasil memasuki Baghdad, tapi sejumlah bom bunuh diri sempat mereka lancarkan yang membuat ibukota Irak itu selalu siap siaga. Hingga kini ketegangan masih terasa di Baghdad.

Dalam kondisi seperti itulah saya—dan beberapa teman pimpinan ormas Islam—beberapa hari lalu (24-29/06) diundang ke Baghdad untuk menghadiri al-Muktamar ad-Dauly lil Wasathiyah wal al-I’tidal (Konferensi Internasional tentang Moderasi Islam). Saya pun sangat bersuka-ria. Konferensi untuk membahas dunia pasca-ISIS ini diselenggarakan oleh Pimpinan Dewan Wakaf Sunni. Delegasi yang diundang lebih dari 20 negara.

Seorang teman bertanya kepada saya, "Apa kamu tidak ngeri pergi ke Baghdad?" Saya pun menjawab, "Iya sih, tapi ngeri-ngeri sedap. Bismillah …"

Ngeri-ngeri sedap itu sudah mulai terasa ketika kami mendarat di bandara Baghdad. Dari bandara ke Hotel al-Rasheed, tempat kami menginap, berjarak 20 km, kami dikawal mobil militer di depan dan belakang. Dua tentara dengan senjata lengkap berdiri di mobil bak terbuka siap tembak bila ada bahaya. Meskipun dikawal tentara, rombongan kami masih harus melalui delapan pemeriksaan di pos-pos militer sepanjang jalan. Apalagi, Hotel al-Rasheed berada di Zona Hijau (Green Zone).

Green Zone berada di Distrik Karkh, Baghdad, seluas sekitar 10 km persegi, merupakan kawasan paling aman di Irak. Kawasan ini di beberapa tempat dikelilingi pagar beton tinggi tahan serangan bom. Ada beberapa pos militer yang akan memeriksa ketat setiap kendaraan yang keluar-masuk kawasan ini, lengkap dengan metal detector, anjing pelacak, dan tentara dengan senjata yang siap tembak. Kantor presiden, perdana menteri, parlemen, dan kantor pemerintahan penting lainnya berada di kawasan ini. Juga Kedubes AS dan berapa kedutaan negara besar lainnya.

Kami tiba di Baghdad sehari sebelum konferensi dimulai. Kami pun minta tolong pada KBRI (Kedutaan Besar RI) untuk bisa diantar berziarah dan berdoa ke makam para waliyullah dan ulama besar Irak. Kawalan militer yang sama ternyata juga diberikan kepada semua Kedubes asing di Irak. Rombongan kami pun di kawal di depan dan belakang oleh kendaraan militer dengan senjata lengkap.

Dengan ditemani orang kedutaan, kami pun berziarah ke makam Shyekh Abdul Kadir Jaelani, Imam Abu Hanifah, Shyekh Junaid al-Baghdadi, Nabi Yusya’, dan terakhir Shyekh Bahlul bin ‘Umair al-Tashrifi. Saya baru tahu kalau Bahlul adalah ulama dan syekh besar. Tidak seperti "bahlul" di kita yang dikonotasikan sebagai orang bego, gila, dan arti negatif lainnya.

Selain berziarah ke makam para wali, kami juga sempatkan minum kopi di KBRI, yang berada di pinggiran Green Zone. Menurut Duta Besar RI untuk Irak, Bambang Artarikso, pemilihan tempat ini untuk melayani masyarakat Indonesia—kebanyakan TKW/TKI dan mahasiswa—yang membutuhkan pelayanan perlindungan dari KBRI. Bila Kedubes berada di dalam Green Zone, masyarakat Indonesia tidak akan bisa menjangkau kantor perwakilan kita.

Di KBRI Baghdad terdapat 20 orang pegawai, empat di antaranya diplomat karier, termasuk Dubes Bambang. Dari jumlah itu hanya ada seorang perempuan Irak yang bekerja sebagai resepsionis. Yang menarik, semua pegawai di kedutaan tidak membawa serta istri dan anak-anak, alias jomlo, termasuk Dubes Bambang.

Mereka semua menginap—makan, tidur, ngantor, dan istirahat—di kedutaan. Alasannya, menurut Bambang, untuk memudahkan kordinasi, pengamanan, dan evakuasi bila terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Inilah gambaran lain dari ngeri-ngeri sedap kehidupan di Baghdad. (Bersambung).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement