REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Tepi Indonesia, Jeirry Sumampouw menilai Pilkada Serentak 2018 mengalami kemunduran. Hal ini karena tidak ada peningkatan dari pemilihan sebelumnya dan banyak kesalahan yang terjadi.
Salah satu kesalahan yang paling fatal, menurut Jeirry adalah yang terjadi di Papua. Proses pelaksanaan Pilkada sampai tertunda karena masalah terkait keamanan dan logistik. Terkait hal tersebut, seharusnya sejak awal di Papua diselenggarakan Pilkada pada waktu yang berbeda.
"Sebaiknya Papua dibuat jadwal sendiri, dibedakan nggak apa-apa daripada seperti sekarang. Kenapa harus disamakan sementara situasi geografis dan politik di sana berbeda," kata Jeirry, di dalam diskusi 'Membaca Hasil Pilkada 2018, Meneropong Peta Pilpres 2019', di Kantor PARA Syndicate, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (29/6).
Ia juga menyinggung fakta Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang terdaftar di dua tempat yang berbeda. Apabila hal semacam ini bisa terjadi pada menteri, kemungkinan juga terjadi pada masyarakat kebanyakan.
"Saya bayangkan banyak yang seperti ini juga," kata dia.
Terkait fakta tersebut, ia kemudian menyinggung peristiwa jatuhnya KTP-el. Kemungkinan adanya data pemilih ganda kembali muncul. "Kemudian yang menjadi permasalahan itu adalah NIK yang berbeda, kemudian kita beberapa waktu lalu kita lihat ada e-KTP yang tercecer di Bogor. Saya jadi curiga dengan hal ini berpengaruh terhadap data pemilih ganda," ujar dia.
Fakta Mendagri yang tercatat di dua tempat ini, kata dia, bisa saja berhubungan dengan membengkaknya penduduk Indonesia. Karena itu, kejanggalan semacam itu harus dicari penyebabnya dan diselesaikan.
"Ini penting untuk kita memperbaiki administrasi melaksanakan Pemilu 2019," ujar Jeirry.