Jumat 29 Jun 2018 17:02 WIB

Nasib Rupiah yang Kian Tertekan

Perang dagang dalam skala global akan merugikan perekonomian dunia secara keseluruhan

Rep: Iit Septyaningsih, Fuji Pratiwi/ Red: Budi Raharjo
Petugas memeriksa kondisi dolar Amerika Serikat di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta (ilustrasi).
Foto: Sigid Kurniawan/Antara
Petugas memeriksa kondisi dolar Amerika Serikat di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kurs rupiah terus melemah terhadap dolar AS. Faktor eksternal diduga masih menjadi salah satu penyebabnya.

Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Jumat pagi bergerak melemah sebesar delapan poin menjadi Rp 14.402 dibanding posisi sebelumnya Rp 14.394 per dolar AS. Posisi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hari ini tidak jauh berbeda dengan sebelumnya yang masih berada di teritori merah.

Sebelumnya pada perdagangan Kamis, berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), mata uang Garuda berada di posisi Rp 14.271 per dolar AS. Bahkan, dari pantauan Republika di Reuters, rupiah telah mencapai Rp 14.325 per dolar AS. Kemudian, di spot perdagangan mata uang telah menembus Rp 14.370 per dolar AS pada pukul 15.00 WIB.

Pengamat ekonomi dari Asian Development Bank Institute Eric Sugandi menilai, pelemahan itu terjadi karena masih ada kekhawatiran pasar terhadap perang dagang Amerika Serikat (AS)-Cina. Selain dengan Cina, AS pun mengancam perang dagang dengan Eropa, Kanada, serta Meksiko.

"Perang dagang dalam skala global akan merugikan perekonomian dunia secara keseluruhan, baik dalam jangka pendek maupun menengah dan panjang. Pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat akibat perang dagang," kata Eric kepada Republika.

Apalagi, ia menilai, Cina, Amerika Serikat, dan Eropa termasuk negara yang menjadi tujuan utama ekspor Indonesia. "Kalau pertumbuhan ekonomi mereka terganggu, ekspor Indonesia bisa terganggu," ujarnya.

Kalau benar terjadi perang dagang, menurut Eric, Cina akan mengalihkan produk-produk ekspornya, semisal baja dan aluminium, ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Hal ini bisa memperbesar current account deficit Indonesia serta melemahkan dukungan fundamental ekonomi terhadap rupiah.

Di sisi lain, kata dia, memang terjadi aliran keluar dana investasi portofolio dari emerging markets, termasuk Indonesia ke AS, utamanya dari bursa saham. Investor asing juga terpengaruh oleh persepsi negatif terhadap perang dagang dan risiko membengkaknya defisit neraca perdagangan. "Itu semua lemahkan kurs rupiah," kata Eric.

Menyikapi pelemahan rupiah, Bank Indonesia (BI) memutuskan menaikkan suku bunga acuannya BI 7 Days Reverser Repo Rate sebesar 50 basis poin. Dengan kenaikan itu, kini suku bunga ditetapkan sebesar 5,25 persen dari sebelumnya 4,75 persen.

Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan, langkah ini diambil demi menstabilkan nilai tukar rupiah di tengah berbagai tekanan global, terutama dari AS. "Keputusan ini berlaku efektif mulai Jumat 29 Juni 2018," ujar Perry di gedung BI, Jakarta, Jumat, (29/6).

Tidak hanya suku bunga acuan, bank sentral juga menaikkan suku bunga deposit facility dan lending facility sebesar 50 basis poin, masing-masing menjadi 4,5 persen serta 6 persen.

Perry pun menjelaskan, keputusan kenaikan suku bunga tersebut merupakan langkah lanjutan Bank Indonesia untuk secara pre-emptive, front-loading, dan a head of the curve menjaga daya saing pasar keuangan domestik terhadap perubahan kebijakan moneter sejumlah negara. Ditambah ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi.

"Kebijakan tersebut tetap ditopang dengan kebijakan intervensi ganda di pasar valas dan di pasar surat berharga negara serta strategi operasi moneter untuk menjaga kecukupan likuiditas, khususnya di pasar uang rupiah dan pasar swap antarbank," kata Perry.

BI meyakini sejumlah kebijakan yang ditempuh tersebut dapat memperkuat stabilitas ekonomi, khususnya stabilitas nilai tukar rupiah. Ke depan, Bank Indonesia akan terus mencermati perkembangan dan prospek perekonomian baik domestik maupun global untuk memperkuat respons bauran kebijakan yang perlu ditempuh.

Keputusan kenaikan suku bunga diambil setelah rapat dewan gubernur (RDG) yang dilangsungkan pada 28 sampai 29 Juni 2019. Dengan kenaikan itu, hingga kuartal II ini, BI telah tiga kali menaikkan suku bunga acuan, sebelumnya pada 17 Mei dan 30 Mei.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement