Jumat 29 Jun 2018 04:00 WIB

Dilarang Cerdas

Manusia terbaik adalah yang selalu ingat dan waspada.

Dr. Ahmad Sastra
Foto: dok. Pribadi
Dr. Ahmad Sastra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Ahmad Sastra, Dosen Pascasarjana UIKA Bogor 

 

Mungkin ada benarnya apa yang diungkapkan oleh pujangga Ronggowasito bahwa zaman udah edan, siapa yang tak ikut edan maka tak kebagian. Namun, manusia terbaik adalah yang selalu ingat dan waspada. 

Mungkin frase ‘zaman edan’ yang dimaksud oleh sang pujangga adalah semacam hegemoni zaman dimana manusia dipaksa untuk mengikuti arus itu. Jika tidak, maka tak dapat bagian, dan jika melawan, maka harus berani menanggung risiko.

Kita tinggalkan sejenak sang pujangga, kita terbang jauh ke zaman para Nabi. Para Nabi adalah manusia pilihan Allah SWT yang diutus dalam sebuah hegemoni zaman yang penuh kezoliman. Musa diutus dalam hegemoni kezoliman fir’aun. Nabi Muhammad diutus dalam hegemoni abu jahal atau jahiliyah.  

Baik zaman hegemoni fir’aun maupun zaman abu jahal, selain disebut zaman kebodohan, juga bisa disebut sebagai zaman edan. Sebab, perilaku manusia pada zaman itu tidak didasarkan oleh akal sehat dan tidak didasarkan oleh petunjuk Allah SWT. Jahiliyah tentu tidak diukur berdasarkan rendahnya IQ ala barat. 

Istilah jahiliyah adalah istilah Arab yang berasal dari kata al jahl yang artinya kebodohan. Makna jahiliyah tidak terlepas akar sejarahnya dimana terdapat kondisi kebodohan masyarakat Arab, yang menurut Ibn Utsaimin dalam al Qoul al Mufid, ditandai dengan tidak kenalnya hak Allah dan hak makhluk. Tiadanya cahaya Islam, membuat bangsa Arab saat itu mencapai kebodohan dan kerusakan kehidupan akibat sistem hidup yang batil.

Jahiliyah menurut Al Amir Syakib Arsalan merujuk pada sebuah kondisi bangsa Arab pra Islam pola pikir dan pola perilaku yang sangat jauh dari nilai-nilai kemuliaan agama. (lihat, Al Amir Syakib Arsalan Mangapa Kaum Muslimin Mundur, 1954, Bulan Bintang. hal. 7).

Ahmad Ratib Armush, menggambarkan zaman Jahiliyah pra Islam dengan mengutip perkataan Ja’far,” Wahai Raja dulu kami adalah bangsa Jahiliyah (bodoh) yang menyembah berhala, mengonsumsi bangkai, melakukan perbuatan keji, memutuskan silaturahmi, melukai tetangga, dan orang yang kuat di antara kami memangsa yang lemah. Kami seperti itu sampai Allah mengutus seorang Rasul dari bangsa kami kepada kami” (dikutip dari Ibnu Hisyam, as Syirah, j.1, hal. 359). 

Zaman kebodohan pada saat Musa diutus dikuasai oleh rezim fir’aun. Zaman kebodohan pada saat Rasulullah dikuasai oleh rezim abu jahal. Abu jahal artinya bapaknya kebodohan. Saat Rasulullah membawa obat kebodohan yakni kecerdasan, serta merta ditolak.

Islam adalah risalah dari Allah untuk membebaskan belenggu kebodohan yang dibawa oleh Rasulullah. Islam menawarkan solusi sempurna atas kejahiliahan pada zamannya. Namun dalam hegemoni jahiliyah, ternyata dilarang cerdas. Rezim abu jahal menghadang, menjegal, menfitnah, dan bahkan melakukan penyiksaan dan pembunuhan kepada para sahabat Rasul. 

Prof Dr Muhammad Rawwas Qol’ahji menggambarkan kondisi bangsa Arab pra Islam dalam bukunya Sirah Nabawiyah, Sisi Politis Perjuangan Rasulullah SAW dengan adanya enam bentuk kezaliman dan kesesatan akibat sistem jahiliah saat itu. Di antaranya adalah kezoliman ekonomi, politik, sosial, jiwa, kesesatan pemikiran dan kesesatan aqidah. 

Jika Islam yang dibawa Rasulullah adalah semacam anti tesis atas hegemoni jahiliyah, maka dapat dimaknai bahwa kecerdasan adalah keimanan dan ketaqwaan, bukan semata tingginya IQ. Manusia cerdas adalah manusia yang beriman dan bertaqwa. Negara cerdas adalah negara yang beriman dan bertaqwa. Pemimpin cerdas adalah pemimpin yang beriman dan bertaqwa. 

(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran [QS Az Zumar : 9].

Dalam konteks ideologi, maka Islam adalah ideologi cerdas karena merujuk kepada akal sehat dan wahyu Allah. Sebab Alquran adalah petunjuk bagi orang-orang bertaqwa. Sementara kapitalisme sekuler dan komunisme ateis adalah ideologi jahiliyah karena didasarkan oleh akal tidak sehat dan nafsu. Hamka menyebut, saat ini, sebagai jahiliah modern. Islam hadir untuk menawarkan kecerdasan dan membebaskan kebodohan.  

Michael D Hart, seorang cendekiawan Barat bahkan menempatkan Rasulullah sebagai urutan pertama dari seratus tokoh dunia paling agung dan berhasil dalam menegakkan peradaban kemanusiaan.

Menurutnya, Muhammad adalah satu-satunya orang yang berhasil meraih kesuksesan luar biasa dalam hal dunia maupun agama. Dia sukses memimpin masyarakat yang awalnya terbelakang dan terpecah belah menjadi bangsa maju yang bahkan sanggup mengalahkan pasukan Romawi di medan pertempuran.

Will Durant, 1926. The History of Civilization, vol. xiii, hlm. 151 menyatakan bahwa Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri yang terbentang dari Cina, Indonesia, India, Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir hingga Maroko dan Andalusia. Islam juga mendominasi cita-cita dan akhlak mereka serta berhasil membentuk gaya hidup mereka. 

Dengan risalah Islam, Rasulullah mendidik dan berdakwah mengajak bangsa Arab agar terikat dengan hukum-hukum Islam dan meninggalkan sistem hukum jahiliah. Akhirnya dengan cahaya Islam yang ditandai oleh tegaknya daulah Islam di Madinah, maka lenyaplah sistem hukum jahiliah dan diterapkan sistem hukum Islam yang kemudian melahirkan masyarakat Islami dengan pola fikir dan pola sikap yang cerdas dan mulia. 

Jika pada zaman fir’aun, Musa dilarang cerdas. Jika di zaman abu jahal, Rasulullah dilarang cerdas. Bagaimana pula dengan kehidupan zaman ini. Apa yang terjadi saat kita menawarkan Islam sebagai solusi sempurna atas krisis multidimensi dunia?. Apakah diterima atau malah dimusuhi. Khusus di Indonesia, cerdas itu boleh apa dilarang?. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement