REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun, mengatakan masyarakat perlu tenang dan rasional dalam menyikapi hasil quick count atau hitung cepat. Pasalnya, hasil data tersebut adalah sementara dan berasal dari sampel.
Ia mencontohkan, di Jawa Barat lembaga survei mengambil sampel sekitar 600 sampel TPS dari total 74.954 Tempat Pemungutan Suara (TPS). Hal ini menyebabkan kemungkinan perubahan dalam hitungan manual nantinya.
"Jika basis pandang penentuan sampelnya TPS maka sampel 600 dari 74.954 TPS margin of error-nya bisa mencapai 4 persen. Artinya kemungkinan perubahan dalam hitungan manual bisa terjadi. Apalagi hasil quick count Ridwan Kamil hanya selisih 2 sampai 3 persen dibanding pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu," kata Ubedilah, melalui keterangan tertulis, Rabu (27/6).
Hitung cepat, menurut dia, bisa mendekati hasil sebenarnya jika teknik samplingnya memegang teguh prinsip-prinsip metodelogi ilmiah dengan benar. Di antaranya teknik sampling yang benar, mempertimbangkan karakteristik keragaman pemilih di TPS, banyaknya jumlah TPS yang diambil sebagai sampel.
Bila asumsinya semua lembaga survei itu benar-benar memegang teguh prinsip metodelogi ilmiah, kata Ubedilah, hasil hitung cepat pun mendekati kebenaran gambaran akhir perolehan suara hasil perhitungan manual yang akan dilakukan KPU daerah masing masing.
"Tetapi jika sarat dengan kekeliruan terutama saat penentuan sampling TPS maka hasil pilkada mungkin berbeda dengan hasil hitung cepat," lanjut dia.
Oleh karenanya ia mengimbau merespons hasil hitung secara tenang dan rasional. Agar tidak menimbulkan persoalan terkait emosi publik atau pendukung.