Rabu 27 Jun 2018 19:52 WIB

Kolom Kosong Sementara Menang di Pilwalkot Makassar

Pilwalkot Makassar hanya diikuti pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi.

Rep: Dian Erika Nugraheny, Mabruroh/ Red: Andri Saubani
[ilustrasi] Petugas melakukan penghitungan suara Pilkada Serentak 2018, Rabu (27/6).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
[ilustrasi] Petugas melakukan penghitungan suara Pilkada Serentak 2018, Rabu (27/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Sumarsono, mengatakan bahwa kolom kosong hampir dipastikan menang di Pilkada Kota Makassar. Perolehan suara kolom kosong sudah lebih dari 50 persen melawan pasangan calon (paslon) Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi. 

"Benar memang kolom kosong berdasarkan hitung cepat meraih sekitar 53  persen suara sah," ujar Sumarsono ketika dihubungi Republika, Rabu (27/6).

Dengan demikian, sudah lebih dari 50 persen suara sah yang berhasil diraih oleh kolom kosong. Karena itu, kata Sumarsono, sudah hampir dipastikan kolom kosong yang menang di Pilkada Kota Makassar 2018.

"Tetapi nanti data resmi dari penghitungan suaranya menanti rekap data dari KPU ya," ungkap Sumarsono. 

Sebagaimana diketahui, Pilkada Kota Makassar hanya diikuti oleh satu paslon, yakni Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi. Satu paslon lain, yakni Mohammad Ramadhan Pomanto-Indira Mulyasari, sebelumnya dinyatakan dibatalkan pencalonannya oleh KPU Kota Makassar berdasarkan hasil putusan Mahkamah Agung (MA).

Menanggapi fenomena menangnya kolom kosong, Direktur Perludem Titi Anggraeni menilai sebagai hukuman dari rakyat untuk partai politik (parpol). Parpol, kata dia, harus evaluasi dan tidak lagi memaksakan pencalonan yang tidak mencerminkan aspirasi rakyat dengan tidak menyediakan pilihan.

"Ini menjadi pembelajaran bahwa rakyat itu menghukum parpol. Ini harus menjadi evaluasi dan pembelajatan bagi parpol ketika memborong dukungan atau memaksakan hanya ada satu calon tunggal," kata Titi saat dihubungi, Rabu (27/6).

Parpol, sambungnya, harusnya memfasilitasi aspirasi rakyat dalam pelaksanaan pilkada, bukan justru untuk kepentingan kalangan elite. Peristiwa ini, ucapnya, harus juga menjadi pembelajaran bagi pilkada 2020 nanti agar fenomena calon tunggal tidak lagi terulang.

"Jangan coba-coba untuk menggunakan calon tunggal sebagai eksis startegi untuk menghindari kompetisi melalui pilkada," ujarnya.

Karena terbukti, tambah Titi, rakyat Indonesia saat ini sudah cerdas dan menunjukkan ekspresi politiknya. Jika tidak ingin kehilangan kepercayaan rakyat, parpol tidak seharusnya mengulang calon tunggal di pilkada 2020.

"Jangan sepelekan suara rakyat. Calon tunggal bukan berarti rakyat bodoh atas politik yang berlangsung," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement