Selasa 26 Jun 2018 04:00 WIB

Uniknya Idul Fitri di Tarim, Lebaran Rasa Ramadhan

Puasa sunah syawal itu seolah telah menjadi kewajiban bagi mereka.

Open House (Uwadan) di kediaman Al Habib Umar Bin Hafidz
Foto: dok. Istimewa
Open House (Uwadan) di kediaman Al Habib Umar Bin Hafidz

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Aidil Ridhwan, Putra Sigli, Aceh, mahasiswa di Universitas Al Ahgaff, kota Tarim, Republik Yaman

 

Berada jauh dari orang tua, kerabat dan orang-orang tercinta adalah ujian tersendiri bagi saya. Terutama ketika momen-momen lebaran seperti ini tiba. Ini kali kelima sekaligus terakhir bagi saya merayakan Idul Fitri di Republik Yaman, tepatnya kota Tarim.

Tentunya, banyak hal dan pengalaman yang telah saya rasakan selama di sini. Salah satunya adalah adat dan tradisi unik masyarakat Tarim ketika merayakan Idul Fitri. Di kota berjuluk ‘Sejuta Wali’ ini, nuansa lebaran hanya terasa di tanggal 1 Syawal saja, yang tahun ini jatuh pada hari Jumat juga. Pagi hari itu, layaknya tradisi di Indonesia juga, warga berduyun-duyun melaksanakan shalat sunah Hari Raya.

Memasuki hari kedua Idul Fitri, mulai tanggal 2 hingga 7 Syawal, tanpa harus ada aba-aba, warga setempat sepakat menjalankan puasa sunah enam Syawal. Ajibnya, puasa sunah tersebut seolah telah menjadi kewajiban bagi mereka. Uniknya lagi, selama enam hari berturut-turut itu, aktivitas mereka sama persis dengan suasana di bulan Ramadhan.

Suasana jalanan dan pasar di siang hari sepi dari lalu-lalang warga. Perpasaran justru berdenyut ketika bakda asar. Pedagang-pedagang kembali beroperasi menjajakan menu berbuka. Di malam hari, hal yang membedakan dengan bulan Ramadhan hanyalah tidak adanya pelaksanaan shalat Tarawih. Sedangkan masjid-masjd kembali ramai didatangi warga untuk beriktikaf, atau sekadar melaksanakan shalat sunat tahiyatul masjid.

photo
Aidil Ridhwan, foto selesai shalat Idul Fitri di Jabbanah, salah satu mushalla di Tarim.

Sore hari-hari itu, khusus bagi sebagian kawula muda, mereka disibukkan dengan mengurusi unta-unta peliharaannya. Binatang berpunuk itu mereka persiapkan untuk perlombaan yang akan digelar setelah Puasa Nam nanti. Jika di Takengon, Aceh adanya pacuan kuda, di Madura adanya karapan sapi, maka di Tarim digelarnya perlombaan pacuan unta.

Momen lebaran di kota para habaib (keturunan Rasulullah SAW) ini kembali terasa mulai hari ke 8 Syawal. Para-para habaib menggelar open house, warga Tarim menyebutnya ‘awadan. Sesuai jadwal, masyarakat berbondong-bondong bersilaturrahmi ke kediaman habaib. Pagi hari 8 Syawal, open house pertama digelar di kediaman Al Haddad.

Selesai dari Al Haddad, acara berlanjut di kediaman klan Bilfaqih yang berada di distrik Nuwaidirah. Setelah itu, uwadan berlangsung di rumah Bin Syihab. Sedangkan sore hari, masyarakat berduyun-duyun menghadiri pen house di kediaman Al Habib Umar bin Hafidh, dai internasional yang saban tahun mengunjungi Indonesia. Kediaman beliau berada persis di depan Darul Musthafa, pondok pesantren asuhannya.

Esoknya, uwadan berlangsung di kediaman marga Al Hamid, yang berada tepat di arah timur masjid Ba’alawi. Selesai di Al Hamid, acara berlanjut di  kediaman Al Masyhur, dan diakhiri di kediaman Al Kaff.

Bila di wilayah-wilayah lain open house identik dengan ‘salam tempel’, lain halnya di Tarim ini, majelis-majelis open house tersebut hanya disuguhi segelas wedang jahe. Sembari menyeruput minuman jempolan warga Tarim itu, para tetamu larut dalam lantunan-lantunan shalawatan dan zikir-zikir yang terdengar melalui pengeras suara.

Bagi warga setempat, suguhan minuman atau makanan bukanlah yang diharapkan. Tapi, hal yang membuat mereka menghadiri acara semacam itu adalah semangat silaturrahmi yang mereka junjung. Oleh karena itu, meski suguhannya alakadar, namun silaturrahminya tetap terjalin. Perilaku yang sangat patut kita teladani. Wallahu ‘alam.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement