Jumat 22 Jun 2018 20:06 WIB

Fredrich Sebut KPK tak Berhak Tangani Perkaranya

Fredrich juga protes sikap majelis hakim.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Muhammad Hafil
Terdakwa kasus perintangan penyidikan kasus korupsi KTP elektronik Fredrich Yunadi (tengah) membawa berkas Pembelaan (Pledoi) saat sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (22/6) .
Foto: Antara/Reno Esnir
Terdakwa kasus perintangan penyidikan kasus korupsi KTP elektronik Fredrich Yunadi (tengah) membawa berkas Pembelaan (Pledoi) saat sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (22/6) .

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA - Mantan kuasa hukum Setya Novanto, Fredrich Yunadi akhirnya membacakan 2000 lembar nota pembelaan atau pledoi pada Jumat (22/6) di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Sedianya jadwal pembacaan pledoi adalah pada Jumat (8/6) lalu.

Dalam nota pembelaannya, Fredrich  tetap berkeyakinan bahwa KPK tidak memiliki wewenang menangani menjadikan dirinya terdakwa dalam kasus menghalangi penyidikan.

"Kami berpendapat perkara ini tidak layak dibawa ke persidangan. Tidak seharusnya terdakwa diseret jadi pesakitan dengan dakwaan menghalangi penyidikan," ujar Fredrich saat membacakan pleidoi di ruang sidang Pengadilan Tipikor, Jumat (22/6).

Sebelumnya, Fredrich didakwa melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memuat perbuatan menghalangi proses hukum yang dilakukan penegak hukum.

Menurut Fredrich, berdasarkan keterangan hukum dan ahli bahasa Indonesia, Pasal 21 yang tercantum dalam Bab III UU Tipikor tersebut adalah tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Dengan demikian, menurut Fredrich, Pasal 21 itu bukan tindak pidana korupsi.

"Maka yang berhak menyidik adalah kepolisian. Mutlak bukan KPK," kata Fredrich.

Selain itu, ia juga merasa  dirinya tidak dapat dituntut secara pidana karena dirinya adalah seorang advokat yang memiliki kekebalan hukum saat sedang menjalankan tugas profesi. "Advokat tidak dapat dituntut. Tidak ada alasan apapun bagi jaksa untuk membangkang konstitusi," tegas Fredrich.

Apabila ada dugaan pelanggaran, sambung dia, maka sanksi yang dapat diberikan harus berdasarkan mekanisme internal dan peraturan organisasi. Mengenai tuduhan menghalangi penyidikan, menurut Fredrich, penyidik, jaksa atau hakim tidak memiliki kewenangan untuk menilai iktikad baik seorang advokat.

"Orang yang sedang melakukan profesi sesuai aturan profesi memiliki kekebalan hukum, maka tidak dapat dugugat secara perdata atau pidana," terang Fredrich.

Masih dalam nota pembelaannya, Fredrich juga menilai Majelis Hakim menunjukan sikap tidak adil dan memihak kepada jaksa. Salah satu keberpihakan hakim adalah saat majelis hakim menolak permintaan dirinya agar JPU KPK menghadirkan sejumlah saksi kunci dalam persidangan, yakni mantan ajudan Setya Novanto, Reza Pahlevi dan politisi Golkar Aziz Samual.

"Ironis, majelis hakim mengabulkan penuntut umum (tak hadirkan saksi kunci). Patut diduga majelis hakim menunjukan sikap memihak jaksa, tidak mau menggali kebenaran dan merampas hak terdakwa," tutur Fredrich.

Fredrich dituntut 12 tahun penjara ditambah denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan oleh jaksa penuntut umum (JPU) KPK. Jaksa menilai Fredrich terbukti merintangi pemeriksaan mantan Ketua DPR Setya Novanto dalam perkara korupsi KTP-el.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement