REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri, Akmal Malik, mengatakan, penunjukan anggota TNI/Polri aktif sebagai Penjabat (Pj) Gubernur tidak menyalahi aturan. Kondisi semacam ini sebelumnya sudah pernah terjadi di beberapa provinsi.
"Tidak ada yang salah dengan penunjukan TNI/Polri aktif ataupun non aktif sebagai Pj Gubernur. Sebelumnya juga sudah ada penunjukan serupa seperti di Sulawesi Barat, Jawa Timur, Aceh, Papua dan Lampung," ujar Akmal dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Selasa (19/6).
Dalam Pasal 201 UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016, disebutkan bahwa bila masa jabatan kepala daerah dan atau wakil kepala daerah habis, maka untuk tingkat provinsi ditunjuk pejabat tinggi madya sebagai Pj Gubernur. Pengisian jabatan ini dilakukan agar tidak terjadi kekosongan pemerintahan daerah.
Akmal kemudian menjelaskan pengertian pejabat tinggi madya, sebagaimana dijelaskan pada pasal 19 ayat (1) huruf b UU ASN Nomor 5 Tahun 2014. Ayat itu menyebut, 'Jabatan Pimpinan Tinggi Madya meliputi Sekretaris Jenderal Kementerian, Sekretaris Kementerian, Sekretaris Utama, Sekretaris Jenderal Kesekretariatan Lembaga Negara, Sekretaris Jenderal Lembaga Non Struktural, Direktur Jenderal, Deputi, Inspektur Jenderal, Inspektur Utama, Kepala Badan Staf Ahli Menteri, Kepala Kesekretariatan Presiden, Kepala Kesekretariatan Wakil Presiden, Sekretaris Militer Presiden, Kepala Kesekretariatan Dewan Pertimbangan Presiden, Sekda Provinsi dan Jabatan lain yang setara'.
Artinya, lanjut Akmal, siapa pun anggota TNI/Polri yang ditugaskan menjadi pejabat tingkat Eselon I adalah pejabat tinggi madya yang bertugas di Kemenko Polhukam, Kemenhan, Sekretaris Militer Presiden, BIN, Badan Siber dan Sandi Negara, Lemhanas, Wantannas, Basarnas, MA, BNN, BNPT dan instansi kementerian/lembaga lainnya. Maka, secara hukum pengangkatan Sekretaris Utama Lemhannas M Iriawan sudah sesuai dengan aturan hukum.
Selanjutnya mengenai status M Iriawan sebagai polisi aktif, juga diatur berdasarkan pasal 20 ayat 2 dan ayat 3 UU ASN tersebut. Dalam aturan ini dijelaskan bahwa anggota TNI/Polri diperbolehkan mengisi jabatan ASN tertentu saja.
Jabatan tertentu yang dimaksud ada di instansi pusat tetapi tidak termasuk instansi daerah. Instansi pusat dimaksud sebagaimana dijelaskan pada Pasal 19 ayat 1 huruf b UU ASN.
"Pj Gubernur adalah pejabat administratif yang mendapat penugasan dari instansi pusat, karena yang meng-SK-kan adalah pemerintah pusat," kata Akmal.
Selanjutnya, dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2002 tentang Perubahan PP Nomor 15 Tahun 2001 mengenai pengalihan status TNI/Polri menjadi PNS. Pasal ini menjelaskan beberapa jabatan dalam kememterian/lembaga, di mana TNI/Polri tidak perlu alih status menjadi PNS.
"Undang-undang terbaru mengalahkan undang-undang yang lama sepanjang tidak diatur secara eksplisit dan jelas atau lex fosterior derogat legi priori. Karena itu, alangkah baik jika membaca norma regulasi, tidak sepotong-sepotong melainkan harus komprehensif karena berkaitan satu dengan lainnya," tambah Akmal.
Sebelumnya, Anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi Nasdem, Luthfi Andi Mutty, menilai Mendagri Tjahjo Kumolo, tengah melakukan upaya penyelundupan hukum dengan melantik M Iriawan sebagai Pj Gubernur Jawa Barat.
"UU ASN menyebutkan, jabatan pimpinan tinggi madya merupakan salah satu jabatan dalam rumpun ASN yang terdiri atas PNS dan PPPK," kata dia.
Luthfi menjelaskan, prajurit TNI atau anggota Polri pada dasarnya bisa menduduki jabatan pimpinan tinggi madya. Namun, berdasarkan ketentuan Pasal 204 ayat 2 UU ASN, jabatan pimpinan tinggi dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif.
"Konyolnya lagi, sudah menabrak berbagai UU, Mendagri juga melakukan tindakan yang dapat dinilai sebagai penyelundupan hukum lewat Permendagri Nomor 1/2018 (tentang cuti di luar tanggungan negara)," kata dia.
Ia menuturkan, dalam pasal 4 ayat 2 Permendagri tersebut diatur bahwa pj gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya atau setingkat di lingkup pemerintahan pusat atau provinsi. Luthfi menilai istilah 'setingkat' bertentangan dengan UU ASN karena regulasi itu tidak menyebutkan hal itu.
"Maka benarlah kata pepatah, segenggam kekuasaan lebih berharga dari sekeranjang aturan," tuturnya.