REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar dan praktisi hukum, Kapitra Ampera mengatakan terdapat sejumlah pelanggaran hukum dalam pengangkatan Komjen M Iriawan sebagai pejabat (Pj) Gubernur Jawa Barat, dan Irjen Martuani Sormin sebagai Plt Gubernur Sumatera Utara. Kapitra mengatakan, pelanggaran ini merupakan suatu bentuk state crime in state policy.
Untuk itu, Kapitra berharap pemerintah segara melakukan pengkajian ulang serta membatalkan pelantikan kedua Perwira Tinggi Polri tersebut. "Demi tegaknya hukum dan perundang-undangan, serta mepertahankan amanat dan semangat Reformasi di Indonesia," katanya dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id, Selasa (19/6).
Berbagai pihak telah menyayangkan pengajuan calon Plt tersebut oleh Menteri Dalam Negeri sejak awal pemberitaan. Karena secara yuridis, ini telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara historis, kata Kapitra, pemberian jabatan kepada TNI/POLRI dalam bentuk Dwi Fungsi ABRI untuk memegang kekuasaan dan mengatur negara, telah ditinggalkan sejak masa Reformasi. Sehingga pengangkatan dua perwira sebagai Plt Gubernur tersebut dinilai sebagai suatu pelanggaran dan kemunduran dalam demokrasi.
Polri sebagai institusi yang netral dan profesional dinilai tidak harus terlibat dalam gerak politik. Amanah reformasi diantaranya untuk menghapuskan doktrin Dwi Fungsi ABRI untuk menjaga netralitas Polri yang bertanggung jawab menjaga keamanan negara. "Apalagi dengan Pilkada yang akan dihadapi maka netralitas dan profesionalitas Polri amat dibutuhkan untuk menjaga keamanan masyarakat dalam melaksanakan hak politiknya, bukan malah masuk ke dalam pusaran politik," katanya.
Kapitra menjelaskan, secara yuridis pengangkatan kedua perwira tersebut dinilai telah melanggar ketentuan perundang-undangan. Pertama, Peraturan yang dilanggar adalah Ketentuan Pasal 201 ayat (10) Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2004 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Pasal 201 ayat (10) berbunyi "Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat pejabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan Ketentuan peraturan perundang-undangan". Dalam ketentuan diatas telah tegas disebutkan pengisian jabatan Gubernur adalah berasal dari Pimpinan Tinggi Madya, yang Nomenklaturnya adalah jabatan Pengawai Negeri Sipil. Di dalam unsur pasal tersebut tidak disebutkan unsur TNI/Polri atau tidak disebutkan unsur atau yang sederajat.
Ketentuan tersebut telah disebutkan secara tegas sehingga tidak dapat diinterpretasikan atau dianalogikan termasuk Perwira Tinggi Polri. Disamping itu, Dalam Penjelasan Pasal 19 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, telah disebutkan jabatan pimpinan tinggi Madya.
Yaitu, Sekretaris jenderal kementerian, sekritaris utama, sekretaris jenderal kesekretariatan lembaga negara, sekretaris jenderal lembaga non-struktural, direktur jendereal, deputi, inspektur jenderal, inspektur utama, kepala badan, staf ahli menteri, kepala sekretariat presiden, kepala sekretariat wakil presiden, sekretaris militer presiden, kepala sekretariat dewan pertimbangan presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara.
"Oleh karenanya, pengangkatan Plt Gubernur atas kedua Perwira Tinggi Polri tersebut merupakan suatu perbuatan yang melanggar hukum karena bertentangan dengan Undang-Undang," tegasnya.
Pelanggaran kedua, lanjut Kapitra, yang dilakukan adalah pengangkatan tersebut telah bertentangan dengan Ketentuan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang telah dengan tegas mengatur Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki Jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Sejalan dengan Undang-Undang tersebut, ketentuan pasal 157 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2017 Tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil juga menyebutkan bahwa Prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat mengisi JPT pada instansi Pemerintah selain Instansi Pusat tertentu sebagaimana dimaksud pasal 148 setelah mengundurkan diri dari dinas aktif, apabila dibutuhkan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif .
"Kedua pasal tersebut cukup jelas menegaskan adanya keharusan untuk mengundurkan diri dari dinas aktif bagi anggota kepolisian yang akan mengambil jabatan di instansi pemerintahan termasuk Gubernur," katanya.
Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo berdalih pengangkatan kedua Perwira Tinggi Polri tersebut merujuk pada Permendagri No. 1 Tahun 2018 Tentang Cuti di luar tanggungan negara bagi kepala daerah. Produk Peraturan Kementerian Dalam Negeri merupakan produk hukum internal kementerian yang berlaku untuk internal.
Di dalam Permendagri No. 1 Tahun 2018 ini disebutkan bahwa Pejabat Gubernut berasal dari Pejabat Pimpinan Tinggi Madya/Setingkat di lingkup Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah Provinsi. Penambahan unsur setingkat ini lah kemudian dijadikan dasar bagi Mendagri dalam membuat asumsi bahwa Perwira Tinggi Polri merupakan jabatan yang setingkat dengan Pimpinan Tinggi Madya.
"Hal ini tentunya bertentangan dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 yang secara limitatif telah mengatur hanya pejabat pimpinan tinggi madya saja yang dapat menjabat sebagai Pejabat Gubernur," katanya.
Indonesia menganut asas hukum lex superior derogat legi inferior yaitu peraturan yang lebih tinggi mengenyampingkan peraturan yang lebih rendah. Peraturan Menteri pada dasarnya tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana ketentuan pasal 7 ayat 1 Undang-Undang No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan.
Namun sebagaimana pasal 8 ayat (2) peraturan tersebut tetap diakui keberadaannya sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Oleh karenanya, materi yang temuat di dalam Peraturan Mendagri tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Baca juga: Mendagri: Tak Mungkin Ajukan Iriawan Kalau Langgar Aturan
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo, membantah menyalahi aturan dengan mengusulkan nama Komjen Polisi M Iriawan sebagai Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat (Jabar). Menurutnya, tim hukum Sekretariat Negara (Setneg) sudah menelaah dasar hukum pengajuan nama itu.
"Saya bertanggungjawab sesuai undang-undang. Tidak mungkin saya ajukan nama untuk Keputusan Presiden (Keppres), jika itu melanggar undang-undang," ujar Tjahjo dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Senin (18/6) malam.
Dia pun menegaskan Keppres tidak akan keluar begitu saja tanpa ada telaah terlebih dulu dari tim hukum Setneg. Jika melanggar, maka pengajuan nama untuk Pj Gubernur tidak akan disepakati.
"Saya menerima kritik dan saran. Yang penting, tidak melanggar undang-undang," tambah Tjahjo.