Sabtu 16 Jun 2018 20:56 WIB

Jimly: Presidential Treshold yang Paling Ideal 0 Persen

Banyaknya jumlah capres pun tidak menjadi soal.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Muhammad Hafil
Ketua Umum ICMI Jimly Asshidiqie
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Ketua Umum ICMI Jimly Asshidiqie

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie, mengatakan ambang batas pencalonan presiden (presidential treshold) yang paling ideal sebesar 0 persen. Jimly juga menyebut jika banyak capres tidak akan menjadi masalah bagi masyarakat.

"Yang paling cocok dengan iklim demokrasi, ambang batas pencalonan presiden sebesar 0 persen. Artinya, tidak ada lagi ambang batas pencalonan presiden. Saya contohkan di Rusia,di mana ambang batas pencapresan 0 persen sehingga ada banyak sekali (bakal) capres," ujar Jimly kepada wartawan di Karangasem, Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (16/6).

Jimly menjelaskan, dirinya sempat diundang sebagai pengamat internasional, selama pemilihan presiden (pilpres) Rusia, baru-baru ini. Dia mengungkapkan ada 74 bakal capres yang mendaftarkan diri.

Dari puluhan bakal capres itu, akhirnya tersaring delapan orang yang memenuhi syarat sebagai capres. Dua orang di antara delapan capres ini, kata Jimly, berasal dari kalangan independen (non parpol).

Berkaca dari pengalaman itu, Jimly, menekankan ambang batas 0 persen berpotensi membuka peluang bagi banyak bakal capres. Dengan begitu, potensi capres tunggal pun bisa dihindari.

Banyaknya jumlah capres pun tidak menjadi soal. Jika diterapkan di Indonesia pun, menurutnya tidak masalah.

Selain itu, Jimly juga berpandangan jika pemilu tahun depan dilakukan secara serentak. Artinya, pemilu 2019 akan memilih anggota legislatif, capres-cawapres secara bersamaan.

Maka, kondisi ini lebih tepat jika nantinya disertai aturan baru. "Karena pemilu serentak, maka seharusnya tidak ada ambang batas pencalonan presiden yang dipakai. Harus sesuai," tegasnya.

Sebagaimana diketahui, masa pencalonan capres-cawapres dimulai pada 4 Agustus dan berakhir pada 10 Agustus mendatang. Penetapan capres-cawapres resmi Pemilu 2019 dilakukan pada 20 September.

Sebelumnya, aturan mengenai ambang batas pencalonan presiden ataupresidential thresholddigugat ke MK. Permohonan uji materi atas pasal 222 Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu ini diajukan oleh 12 orang dari berbagai kalangan.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Denny Indrayana melalui Indrayana Centre for Government, Constitution and Society (Integrity), menjadi kuasa hukum untuk permohonan uji materi tersebut. Pendaftaran gugatan dilakukan pada Rabu (13/6) lalu.

"Kami meminta MK dapat segera memutuskan permohonan ini sebelum masa pendaftaran capres berakhir pada 10 Agustus 2018 yang akan datang," kata Denny dalam keterangan pers yang diterima, Rabu (13/6).

Denny menjelaskan, syarat ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen telah mendegradasi kadar pemilihan langsung oleh rakyat yang telah ditegaskan dalam Undang-undang Dasar 1945. Syarat yang diadopsi dalam pasal 222 UU Pemilu itu menyebabkan rakyat tidak bebas memilih karena pilihannya menjadi terbatas.

Syarat tersebut pun harus kembali diujimaterikan ke MK karena telah nyata bertentangan dengan UU Dasar 1945. Meski telah diuji sebelumnya, papar Denny, tapi berdasarkan Peraturan MK, pasal 222 UU Pemilu dapat diajukan kembali ke MK.

"Inilah perjuangan konstitusional untuk mengembalikan daulat rakyat dan mengembalikan kebebasan rakyat untuk secara lebih bebas memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden," tutur dia.

Permohonan uji materi kali ini dilakukan oleh 12 orang dari berbagai macam bidang. Mereka adalah Busyro Muqoddas (mantan Ketua KPK dan Ketua Komisi Yudisial), M Chatib Basri (mantan Menteri Keuangan), Faisal Basri (akademisi), Hadar Nafis Gumay (mantan Komisioner KPU), Bambang Widjojanto (mantan Pimpinan KPK), dan Rocky Gerung (akademisi).

Ada pula Robertus Robet (akademisi), Feri Amsari (Direktur Pusako Universitas Andalas), Angga Dwimas Sasongko (profesional/sutradara film), Dahnil Anzar Simanjuntak (Ketua PP Pemuda Muhammadiyah), Titi Anggraini (Direktur Perludem), dan Hasan Yahya (profesional).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement