Selasa 12 Jun 2018 09:09 WIB

Membedah Peta Jalan Industri Keuangan Syariah

Masyarakat yang menggunakan jasa keuangan syariah masih terbatas. Mengapa?

Ketua DK OJK Wimboh Santoso
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Ketua DK OJK Wimboh Santoso

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Elba Damhuri

Industri keuangan syariah telah memberikan kontrbusi signifikan terhadap perekonomian nasional. Hal ini terlihat dari pertumbuhan bisnis industri ini yang dari tahun ke tahun terus menunjukkan tren kenaikan. Dalam kue ekonomi nasional, kontribusi keuangan syariah tergolong sangat meyakinkan.

Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengungkapkan dengan kondisi pertumbuhan yang semakin baik ini, industri jasa keuangan syariah harus dapat memanfaatkan dinamika ekonomi domestik dan mengambil peran yang lebih besar dalam pembangunan nasional. Ada tiga pilar utama arah pengembangan sektor jasa keuangan syariah yang juga bagian dari Master Plan Jasa Keuangan Indonesia 2015–2019.

Wimboh mengatakan pilar pertama adalah stabilitas. OJK, kata dia, menjaga stabilitas sistem keuangan termasuk mengatur serta mengawasi implementasi prinsip-prinsip syariah pada lembaga keuangan syariah sebagai landasan bagi pembangunan yang berkelanjutan.

Pilar kedua, kontributif. Ini mendorong keuangan syariah berkontribusi lebih besar dalam mendukung percepatan ekonomi nasional. Wimboh menegaskan OJK berkepentingan meningkatkan kapasitas kelembagaan industri keuangan syariah yang lebih kompetitif dan efisien.

Pilar ketiga, inklusif. Ini untuk mendukung upaya peningkatan pemerataan kesejahteraan masyarakat serta mengatasi ketimpangan dalam pembangunan nasional. OJK ingin meningkatkan inklusi produk keuangan syariah dan koordinasi dengan pemangku kepentingan untuk memperbesar pangsa pasar keuangan syariah.

"Kita ingin memperluas akses terhadap produk dan layanan keuangan syariah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat," kata Wimboh, akhir pekan ini, di Jakarta.

Untuk mendorong peningkatan peran serta keuangan syariah dalam mendukung penyediaan sumber dana pembangunan, Wimboh menyebut ada sejumlah prioritas yang menjadi perhatian OJK. Pertama, kata mantan kepala Bank Indonesia (BI) New York ini, penyempurnaan strategi pemasaran perbankan syariah.

Kedua, pengembangan variasi produk/layanan keuangan syariah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ketiga, mengembangkan variasi produk reksa dana syariah berbasis pertanian dan infrastruktur.

Keempat, jelas Wimboh, pembentukan Sharia Financial Center di daerah atau di universitas-universitas, menjadikan mereka sebagai laboratorium pengembangan ekonomi dan keuangan syariah; Kelima, pengembangan fintech syariah dan gadai syariah sebagai alternatif pembiayaan bagi kegiatan ekonomi produktif.

Dalam rangka memperluas akses keuangan syariah, OJK melihat fintech dapat mengambil peran yang lebih besar dalam meningkatkan indeks inklusi keuangan syariah. Khusus untuk perbankan syariah, seiring dengan perkembangan fintech, tren digitalisasi perbankan dan transaksi komersial elektronik (e-commerce) ke depan, OJK akan mendorong perbankan syariah untuk semakin adaptif terhadap perubahan yang terjadi.

Wimboh berharap perbankan mampu melahirkan inovasi-inovasi produk syariah yang lebih aplikatif dengan memanfaatkan utilitas platform teknologi keuangan. Juga, sekaligus merespons kebutuhan pasar yang dinamis terhadap layanan keuangan dan perbankan modern.

Pasar modal syariah juga akan ikut dalam regulasi fintech, khususnya mengenai crowdfunding. Menurut Wimboh, industri keuangan syariah harus bisa beradaptasi dan mengambil peran lebih besar dalam arus perubahan dan perkembangan fintech ini.

"Dan keenam, mendorong Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) untuk mengoptimalkan investasi melalui pasar modal syariah," kata Wimboh.

Pemerintah membutuhkan modal investasi sampai 2020 sebesar Rp 5.000 triliun. Investasi yang mampu disanggupi pemerintah sekitar Rp 2.000 triliun.

Sisanya bergantung pada swasta yang memang membutuhkan sumber modal dari perbankan dan industri keuangan lainnya untuk menopang bisnis mereka. Peran industri keuangan syariah termasuk pasar modal syariah menjadi penting di sini.

Tantangan ke depan
Wimboh mengatakan OJK memiliki peta jalan meningkatkan komitmen Bank Umum Konvensional (BUK) untuk mengembangkan layanan perbankan syariah hingga di atas 10 persen aset BUK induk. Program kerja tersebut dicanangkan karena hampir seluruh Bank Umum Syariah (BUS) atau Unit Usaha Syariah (UUS) merupakan anak perusahaan dari BUK.

Untuk meningkatkan sinergi antara induk dan anak, maka OJK mendorong share aset anak perusahaan minimal 10 persen dari induknya. Dengan kebijakan ini, upaya ekspansi dan menjawab tantangan pendalaman pasar keuangan untuk kebutuhan investasi bisa terjawab.

Wimboh mengakui industri keuangan syariah telah mengalami pertumbuhan yang relatif tinggi dari tahun ke tahun. Namun, ia melihat jumlah masyarakat Indonesia yang telah memiliki akses serta menggunakan produk dan jasa lembaga keuangan syariah masih sangat terbatas.

Hal ini dapat kita lihat dari hasil survei OJK pada akhir 2016 melalui Survei Nasional Literasi Keuangan Indonesia. Hasil survei menunjukkan tingkat literasi dan inklusi keuangan syariah masih sangat rendah, yaitu masing-masing sebesar 8,06 persen dan 11,08 persen.

Sementara, tingkat literasi dan inklusi keuangan nasional sudah mencapai 29,66 persen dan 67,82 persen dari persebaran 9.680 responden di 34 provinsi dan 64 kota/kabupaten di seluruh Indonesia. Ini artinya, OJK harus menaikkan lagi tingkat literasi dan inklusi keuangan tersebut.


Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement