REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keterwakilan perempuan dalam lembaga penyelenggaraan Pemilu dinilai masih sangat kurang. Padahal afirmasi dinilai harus hadir dalam proses penyelenggaraan Pemilu untuk memperkuat kehadiran perempuan di politik dan pembuatan kebijakan publik.
Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) setelah KPU dan Bawaslu merampungkan beberapa proses seleksi calon anggota KPU dan Bawaslu Provinsi periode 2018-2023. Titi menyoroti komitmen KPU dan Bawaslu terkait keterwakilan perempuan dalam setiap pelaksanaan seleksi.
"Penyelenggara Pemilu adalah regulator dan implementator penyelengaraan Pemilu sehingga afirmasi perempuan diperlukan untuk memastikan kebijakan hulu ke hilir penyelengaraan Pemilu tidak bias gender, berpihak pada perempuan, dan inklusif," ujar Titi dalam diskusi di Media Center Bawaslu RI, Jl. M.H. Thamrin No. 14, Jakarta Pusat, Ahad (10/6).
Titi mengatakan, Pemilu melibatkan pemilih yang sebagian besar adalah perempuan. Oleh karena itu, afirmasi untuk memastikan pembuatan kebijakan penyelenggaraan tahapan Pemilu dan teknis kepemilikan berpihak pada perempuan. Selain itu, penyelenggara Pemilu juga akan memroses keterwakilan perempuan sebagai peserta Pemilu. Namun, hasil seleksi penyelenggara Pemilu tidak banyak keterwakilan perempuan.
Ia mencontohkan, hasil seleksi atas anggota KPU periode 2018-2023 di 17 provinsi di mana dari 12 provinsi, hanya satu orang anggota perempuan terpilih. Sementara dua orang anggota perempuan terpilih hanya ada di satu provinsi yakni Sulawesi Utara. Sedangkan, ada dua provinsi yakni DKI Jakarta dan Sulawesi Selatan, yang terdapat tiga anggota perempuan terpilih. "Tetapi ada satu provinsi yakni di Kalimantan Tengah yang tidak ada anggota perempuan terpilih," kata Titi.
Menurut Titi, rendahnya animo perempuan dalam penyelenggaraan Pemilu disebabkan beberapa faktor. Pertama, masalah kultural di mana perempuan mempunyai stigma yang kurang positif terhadap politik. "Selain juga persepsi masyarakat kita yang kurang positif dalam beberapa hal melihat keterlibatan perempuan sebagai penyelenggara Pemilu. Jadi ada beberapa benturan yang buat perempuan lebih sulit masuk ke ranah politik dan ranah publik termasuk ketika ingin berkontribusi untuk jadi penyelenggara pemilu," ujarnya.
Hal lain yang membuat keterwakilan perempuan sangat sedikit dalan penyelenggaraan pemilu yakni kurangnya sosialisasi terhadap proses rekrutmen. Selain itu, komitmen kurang dari tim seleksi untuk mendorong hadirnya perempuan dalam lembaga penyelenggara Pemilu.
"Mereka masih melihat bahwa kapasitas itu tidak bisa ditawar sehingga kehadiran perempuan memang harus dalam kapasitas yang sama dengan laki-laki, sementara dalam pandangan kami perempuan itu bisa diafirmasi atau mendapat tindakan khusus sementara untuk mengejar ketertinggalan kehadiran mereka di lembaga penyelenggara pemilu," kata Titi.
Ketua Bawaslu Abhan mengaku lembaganya terus berkomitmen mendorong keterwakilan perempuan di Bawaslu. Salah satunya dimulai sejak pembentukan tim seleksi. "Ini dimulai dari kabupaten/kota. Kami bentuk Timsel jumlahnya 360, 25 persen keterwakilan perempuan dan 75 persen laki, kalau di provinsi 15 persen perempuan dan 85 persen laki-laki," ujar Abhan.
Namun dalam proses seleksi , animo pendaftar dari perempuan memang masih rendah. Ia merinci persentase jumlah pendaftar dari perempuan hanya 17 persen dari perempuan, sementara laki-laki 83 persen. Setelah diseleksi, persentasi pendaftar perempuan yang lulus dalam tahapan tes kesehatan dan wawancara naik menjadi 19 persen.
"Kalau menurut kami, kami sudah melakukan upaya maksimal. Kadang kalau di lapangan itu sosialisasi sudah, yang daftar sedikit. Intinya akan terus kami dorong," ujar Abhan.