Senin 11 Jun 2018 08:00 WIB

Pura-Pura Berlapar Ria

Sekolah ramadhan bisa menajamkan kepekaan pada mereka yang membutuhkan.

Petugas menyiapkan nasi dan lauk yang akan dibagikan gratis kepada kaum dhuafa dan fakir miskin(Ilustrasi).
Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko
Petugas menyiapkan nasi dan lauk yang akan dibagikan gratis kepada kaum dhuafa dan fakir miskin(Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Rudi Agung, Pemerhati masalah-masalah sosial.

 

Dikisahkan dalam sebuah riwayat, suatu ketika di bulan Ramadhan saat berbuka puasa Imam Malik bin Anas menangis tersedu-sedu, lalu salah satu muridnya bertanya: "Wahai guruku yang mulia, ada apa gerangan sehingga engkau menangis sedemikian sedih hingga menyayat hati kami? Apakah ada di antara kami yang membuat hatimu sedih, atau hidangan yang ada saat ini kurang berkenan?”

Imam Malik menenangkan muridnya. "Tidak, tidak, wahai murid-muridku, sungguh kalian adalah murid-murid terbaikku, bahkan hidangan ini adalah sangat mewah dan nikmat buatku."

Para murid masih penasaran dan menanyakan musabab kesedihan gurunya. 

Imam Malik menjelaskan, "Sungguh aku pernah berbuka puasa dengan guruku Imam Ja'far As-saadiq cucu baginda Rasulullah, dengan makanan yang teramat nikmat seperti ini."  

Kala itu, lanjut Imam Malik, guru Imam Ja'far berkata sambil terisak: "Wahai Ibnu Anas (Imam Malik), tahukah engkau, bahwasanya Rasulullah terkadang berbuka puasa hanya dengan tiga butir kurma dan air, tetapi Rasulullah tetap merasa sangat nikmat penuh syukur. Bahkan sering kali Rasulullah berbuka puasa hanya dengan sebutir kurma dan dibagi dua dengan istri tercinta Aisyah. Sungguh Rasulullah tetap merasa nikmat penuh syukur."

Imam Malik melanjutkan ucapan Imam Ja'far, "Rasulullah sedikit makan sahur dan sedikit pula berbuka puasa, tapi Rasulullah tetap sangat banyak beribadah dan bersyukur. Rasulullah selalu mendoakan kita umatnya yang sering lalai dan melupakan Beliau. Sedangkan hari ini kita dipenuhi dengan makanan yang nikmat dalam berbuka puasa, akan tetapi sangatlah jauh dari rasa syukur dan ibadah."

Imam Malik, menekankan, "Tahukah kalian setelah berkata seperti itu, guruku Imam Ja’far As-Shaadiq pingsan karena tidak mampu mengenang perjuangan dan akhlak Rasulullah."

Pendusta agama

Kisah lain datang dari lembaran buku: K.H. Ahmad Dahlan, Amal dan Perjuangannya (2009), karya Junus Salam. 

Al kisah, suatu kali di depan murid-muridnya, K.H. Ahmad Dahlan berucap tegas: 

"Kalian sudah hafal surat Al Ma’un, tapi bukan itu yang saya maksud. Amalkan! Diamalkan, artinya dipraktikkan, dikerjakan! Rupanya, saudara-saudara belum mengamalkannya."

KH Ahmad Dalan melanjutkan, "Mulai hari ini, saudara-saudara pergi berkeliling mencari orang miskin. Kalau sudah dapat, bawalah pulang. Berilah mereka mandi dengan sabun yang baik, berilah pakaian yang bersih, berilah makan dan minum, serta tempat tidur di rumahmu." 

Apa yang diingatkan Sang Pencerah yang melahirkan Persjarikatan Moehammadijah sejak 18 November 1912, itu, amat mendasar. Sesuatu yang seolah sepele namun fundamental dan sangat besar kemungkinan malah kita tinggalkan.

Padahal, ancaman kelalaiannya dalam Al Maun, begitu mengerikan: bisa jadi masuk dalam kategori pendusta agama. Ya, pendusta agama. Jangan-jangan selama ini kita terlalu PD mengklaim diri baik dalam ibadah-ibadah mahdoh, ciamik dalam hablumminallah, tapi lupa jerit isak sekitar yang membutuhkan. 

Lupa, iba anak-anak yatim yang merindukan kasih sayang sang ayah. Atau lupa pada sanak famili, tetangga yang kekurangan. Lupa pada sang yatim dan si miskin. Kita hanya ingat mereka pada momen-momen tertentu seperti Ramadhan atau Muharram. Selain momentum itu, lupa lagi. 

Sang Maha mengingatkan: Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. (Qs. Al Maun: 1-3). 

Barangkali, kita terlalu jumawa akan amal-amal vertikal. Tetapi lalai pada hubungan horizontal. Melulu fokus pada hablumminallah tapi tidak menghasilkan amaliah hablumminnas pada insan-insan yang kekurangan. 

Atau barangkali, kita merasa telah mengetahui betul bagaimana menjadi orang-orang miskin, hanya karena di bulan Ramadhan bisa menahan dahaga dan lapar sejak Subuh sampai Maghrib selama sebulan.

Puasa hari itu seolah merasa telah menjadi orang miskin, kaum dhuafa, seolah sudah mengikuti jejak Nabi. Tetapi saat berbuka malah menunaikan dendam melahap makanan minuman favorit yang diincar sejak siang hari. 

Saat yang sama, masa bodoh jerit saudara yang kekurangan, tetangga miskin yang kelaparan, anak-anak yatim yang rindu belai peluk sang ayah. Sedangkan menu berbuka berlebihan, kadang, tak habis lalu dibuang. 

Food Sustainability Index 2017, The Economist Intelligence Unit, mengungkap: Indonesia negara kedua dalam menyumbang sampah makanan terbanyak. 

Setiap orang menyumbang sampah 300 kg per tahun atau 13 juta ton setahun. Dari jumlah makanan sebanyak itu, dalam estimasi FAO, bisa memberi makan 28 juta penduduk. 

"Hidup atau mati, kaya atau miskin, semua sudah ditakdirkan. Tetapi menyisihkan makanan pada yang kelaparan atau membuangnya karena kelebihan menjadi sebuah pilihan, bukan?" Demikian pertanyaan menohok dari video yang dilansir opinidotid.

Barangkali, patut kita tanyakan dalam diri: apakah kita benar-benar berpuasa atau berpura-pura berlapar ria? Sedang hari-hari menafikan jerit tangis kaum papa terdekat. Alih-alih mendamba pahala puasa, tapi justru kita menjadi pendusta agama.

Pakaian, kendaraan, rumah: bersusah-susah kita perbaiki. Tapi akhlak pada sesama kita kotori. Hari demi hari memikirkan bagaimana meraih jabatan dan kekayaan. Sedang kesenjangan sosial makin dalam dari permukaan. 

Angka kemiskinan tinggi tak karuan. Sampai akhir tahun 2017 jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 26 juta jiwa. Angka kemiskinan ini melebihi jumlah total penduduk Australia, yang diperiode sama jumlahnya 22 juta jiwa. Luar biasa. 

Orang bilang tanah kita tanah Surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Demikian Koes Ploes mengingatkan, tapi kesejahteraan merata hanya menjadi mimpi dan janji-janji. 

Angka pengangguran pun tak menyedapkan, per Februari 2018 masih di angka 6,87 juta jiwa. Tak heran, penelitian World Bank (2017), mencatat Indonesia menjadi negara ketiga di dunia sebagai penyumbang terbesar penduduk miskin kota.

Amat mudah kita saksikan: tiap ada  pembagian sembako atau pasar murah, begitu panjang antrian. Bahkan berdesak-desakan sampai memakan korban. Sedang saldo-saldo masjid membengkak, naik berlipat-lipat. Terutama di tiap Ramadhan. Tapi, apakah saldo itu telah membantu jamaah sekitar yang kelaparan?

Barangkali alangkah ciamik, misalnya, ada edaran khusus berupa imbauan dari MUI atau DMI agar dana masjid bisa dikelola untuk hal-hal yang lebih bermanfaat bagi sekitar dibanding berorientasi pada pembangunan fisik atau mengendap di bank: berbunga-bunga menjadi riba. 

Dikelola, misalnya, menyentuh orang-orang miskin di sekitar masjid. Membantu yatim, kebutuhan dhuafa, anak sekolah kurang mampu, dan kebutuhan mendasar kaum dhuafa sekitar masjid. Menolong beban ekonomi warga terdekat. Mengembalikan masjid sebagai pusat kebangkitan peradaban. 

Apakah kita benar-benar berpuasa atau berpura-pura berlapar ria? Setiap hari masih asyik masyuk mengais sumber makanan lewat jalan riba, atau jalan abu-abu: yang masa bodoh halal haramnya. 

"Wahai Sa'ad, perbaikilah makananmu, niscaya kamu menjadi orang yang terkabul doanya. Demi yang jiwa Muhammad dalam genggaman Nya, sesungguhnya seorang hamba melontarkan sesuap makanan yang haram ke dalam perutnya maka tidak akan diterima amal kebaikannya selama 40 hari. Siapapun yang dagingnya tumbuh dari yang haram maka api neraka lebih layak membakarnya." Nubuah ini diriwayatkan At Thabrani.

Mudah-mudahan sekolah Ramadhan tahun ini bisa menjadikan kita siswa yang tak berpura lapar ria, tak sia-sia menahan dahaga. Mudah-mudahan diberi kemudahan menajamkan kepekaan pada mereka yang membutuhkan, diberi kekuatan mampu membersihkan jiwa, sampai Ramadhan dan ajal meninggalkan kita. Duhai, jiwa yang tenang... 

Shalaallahu alaa Muhammad.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement