Senin 11 Jun 2018 01:00 WIB

Islam, Lebaran dan Penentuan Harga oleh Pemerintah di Pasar

Dalam penentuan harga, pemerintah harus melihat kemaslahatan yang umum.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menanyakan harga kepada pegadang saat melakukan inspeksi mendadak (Ilustrasi)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menanyakan harga kepada pegadang saat melakukan inspeksi mendadak (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nurizal Ismail, Direktur Pusat Studi Kitab Klasik Islami STEI Tazkia dan Peneliti ISEFID.

 

Kenaikan harga makanan pokok menjadi tradisi menjelang Lebaran. Fenomena rutin ini sebenarnya terjadi karena naiknya permintaan (demand) menjelang lebaran, tetapi tidak disertai dengan kenaikan supply barang. Beberapa pendekatan yang biasa dilakukan pemerintah adalah mempersiapkan persediaan kebutuhan pokok menjelang lebaran, penetapan harga dan himbauan moral kepada masyarakat. Terlihat perlu adanya intervensi terhadap kenaikan harga menjelang lebaran ini. Apakah Islam membahas tentang ini? Penulis dalam tulisan akan memfokuskan bagaimana Islam memandang penentuan harga oleh pemerintah. 

Permasalah penentuan harga dalam kajian fikih Islam telah menjadi perhatian serius oleh para ulama dahulu. Yahya Ibnu Umar berkata di dalam bukunya “Al-ahkam Al-Sȗq”: Seharusnya bagi pemerintah yang ingin menegakkan keadilan, mengawasi pasar-pasar rakyatnya, dan memerintahkan orang-orang yang terpercaya dan dikenalnya daerahnya untuk mengawasi pasar, dan menetapkan standard segala bentuk takaran, timbangan dan ukurannya pada orang-orang di pasar. Ini jelas bahwa pemerintah yang adil harus bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan di pasar sebagaimana yang telah disampaikan oleh Yahya Ibnu Umar. Rasulullah SAW dan Para Khalifah al-Rasyȋdun turun ke pasar untuk memastikan harga-harga di pasar dalam keadaan stabil.  

Rasulullah SAW pernah ditanya, “wahai Rasulullah barang-barang di kota Madinah mengalami kenaikan harga,” dan Rasulullah menjawab, “sesungguhnya Allah lah menjadikan harga naik dan turun (HR: Abu Daud dan Tirmidzi).” Dari hadist ini ada 2 pendapat mengenai penentuan harga di pasar oleh pemerintah. Pendapat pertama, Mazhab Hanbali dan Syafi’i melarang pemerintah menentukan harga. Alasan ini salah satunya dikemukakan oleh Ibnu Qudama yang mengatakan bahwa dengan penentuan harga oleh pemerintah menyebabkan harga barang-barang menjadi mahal karena pedagang luar mendengar harga terkontrol, mereka akan dipaksa untuk menjual sesuai dengan harga yang ditentukan kepada mereka, dan pada akhirnya barang-barang menjadi langka dan menyebabkan harga yang tinggi. 

Pendapat kedua, Mazhab Maliki dan Hanafi membolehkan penentuan harga barang-barang oleh pemerintah ketika kenaikan harga disebabkan oleh oknum yang menaikan harganya dari harga normal yang berlaku atau kenaikan harga menyebabkan masyarakat menderita. Yahya bin Umar yang merupakan penganut Mazhab Maliki melarang penentuan harga pada batas tertentu kecuali untuk makanan kebutuhan pokok dan pada batas harga yang semestinya diperoleh oleh produsen tanpa pengurangan sedikitpun, dengan melihat harga pembelian ditambah laba wajar yang semestinya.

Namun menurut Ibnu Taimiyah, hadits yang berkaitan dengan penentuan harga adalah kasus khusus bukan umum berlaku. Menurutnya, harga naik karena terjadi alamiah, bukan karena pasar yang tidak sempurna (imperfect market). Kasus tersebut terjadi karena kurangnya pasokan bahan makanan dan bukan karena penimbunan (ihtikar) oleh oknum. Maka menurutnya, pemerintah boleh menentukan harga ketika dalam keadaan darurat seperti  kemiskinan dan peperangan; dan dalam keadaan pasar tidak sempurna yang diakibatkan oleh oknum yang melakukan monopoli dan ihtikar (penimbunan). Yahya Ibnu Umar menambahkan penyebab pasar tidak sempurna yaitu: 1) perbedaan timbangan atau ukuran, 2) peredaran uang palsu, 3) ihtikar dan 4) kebijakan dumping.

Berdasarkan hal tersebut, pemerintah seharusnya harus mampu menganalisa dengan baik melalui data dan praktek di lapangan mengenai kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, bukan dengan saling menyalahkan antara instansi yang satu dengan lainnya atau pihak yang satu dengan lainnya. Kalau penyebabnya adalah alamiah karena  kurangnya pasokan, pemerintah bisa melakukan import untuk memenuhi permintaan masyarakat.

Jika penyebabnya oleh oknum, maka pemerintah wajib menindaknya sebagaimana saran Yahya Ibnu Umar misalnya menjatuhi hukuman kepada orang-orang mengubah standard pengukuran dari barang-barang atau perbuatan yang menyebabkan harga tidak stabil, menurut kadar yang pantas dari perbuatannya, kemudian mengeluarkannya dari pasar sampai nampak darinya taubat dan kembali kepada kebaikan. jika hal demikian telah dilakukan, maka diharapkan terbebas dari dosa dan urusan rakyat menjadi sejahtera insya Allah. Dalam konteks saat ini mungkin bisa diasosiakan dengan para mafia kartel pangan dan harus ditindak dengan tegas. 

Terakhir yang paling penting dalam penentuan harga adalah musyawarah (syurah) dengan melihat maslahat masyarakat. Menurut Ibnu Taimiyah yang beliau dapatkan dari pendahulunya Ibnu Habib, ada beberapa tahapan dalam proses penentuan harga. Pertama, Imam (pemerintah) harus memanggil para perwakilan pasar (wujȗh al-sȗq) dan lainnya yang berkaitan dengan pasar. Mungkin dalam keadaan sekarang, Presiden harus memanggil jajaran-jajarannya yang mempunyai keterkaitan dengan kenaikan harga kebutuhan pokok seperti kementrian pertanian, perdagangan, bulog, keuangan, dan para pelaku pasar.

Kedua, setelah terjadi negoisasi dan investigasi,  pemerintah mengajak mereka untuk bersepakat dalam penentuan harga yang menguntungkan bagi pedagang dan masyarakat pada umumnya. Dapat disimpulkan bahwa dalam penentuan harga pemerintah harus melihat kemaslahatan yang umum, tidak berimplikasi terhadap kerugian salah satu pihak: pedagang atau pembeli. Wallahu’alam bissawwab!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement