REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif mengakui makin banyaknya penangkapan kepala daerah maupun calon kepala daerah yang terjerat korupsi jelang pemilihan kepala daerah (pilkada). Itu menyusul rentetan operasi tangkap tangan (OTT) KPK kurang dari sepekan.
"Memang soal OTT, kalau kita mendapatkan laporan dan bukti permulaan yang cukup dan memang itu ya kita enggak bisa biarkan itu," ujar Syarif saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/6).
Ia juga mengakui banyaknya kepala daerah yang terjerat korupsi karena sistem pilkada yang memakan biaya tinggi. Itu juga yang memungkinkan calon kepala daerah mengeluarkan uang besar untuk pencalonannya.
"Itu juga sih yang kita harapkan, jangan terlalu memaksakan diri juga. Jadi, takutnya gara-gara ikut pilkada akan menimbulkan banyak godaan-godaan lain," ujar Syarif.
Menurut Syarif, KPK juga tidak kurang dalam memperingatkan semua pihak untuk tidak melakukan korupsi. "Itu yang sudah kita lakukan pencegahan sejak awal bahwa money politic itu tidak baik," kata Syarif.
Pada Senin (4/6) petang, KPK menangkap Bupati Purbalingga Tasdi beserta Kepala ULP Setda Purbalingga Hadi Ismanto. Ketika dibawa ke Jakarta, saat itu ada dua orang lain yang dibawa KPK, yakni ajudan bupati Teguh Priyono dan dari pihak swasta Hamdani Kosen. Namun, belakangan diketahui, Teguh tidak masuk dalam daftar nama tersangka.
Selain tiga orang yang ditangkap dalam OTT di Purbalingga, KPK juga telah menetapkan dua tersangka lain dari pihak swasta. Keduanya terdiri atas Librata Nababan dan Ardirawinata Nababan.
Kasus dugaan korupsi yang dilakukan mereka terkait dengan proyek pembangunan Islamic Centre yang dianggarkan ratusan miliar dari APBD Purbalingga. Rencananya, kegiatan pembangunan Islamic Centre tersebut dilaksanakan dalam beberapa tahun anggaran.