REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Pejabat di Kemendagri dan juga Pendiri Institut Otonomi Daerah, Djohermansyah Djohan, mengatakan fenomena kasus pejabat kepada daerah yang menjadi terpidana kasus korupsi sudah memprhatinkan. Untuk itu harus ada evaluasi menyeluruh tentang pelaksanaan otonomi daerah, termasuk pelaksanaan pilkada gubenur, bupati, dan walikota yang selama ini telah dilaksanakan.
''Kondisinya sudah mempriahtinkan. Pada kasus terakhir, dengan ditangkapnya Bupati Purbalingga oleh KPK maka sudah 401 orang 'boss Pemda' kena perkara. Ini gara-gara pilkada langsung berbiaya tinggi yg kita adopsi sejak reformasi. Jadi jumlah sebanyak itu saya catat dari sejak dilaksanakannya Pilakda langsung pada tahun 2005,'' kata Djohermansyah, kepada Republika.co.id, (6/6).
Sementara akibat pilkada langsung itu, lanjut Djohermasyah, telah membuat aktor politik lokal tidak matang. Selian itu, masyarakat atau para pemilih sendiri rawan akan politik uang.
''Imbasnya pn tidak hanya itu. Penyelenggaraan pemerintah daerah (Pemda) jauh dari kinerja yang efektif. Bupati dan Walikota tidak mau disupervisi dan dikoordinasi gubernur gara-gara punya konstituen sendiri,''ujarnya lagi.
Akibat lainnya, tegas Djohermansyah, para bupati dan walikota jarang menghadiri rapat di provinsi. Bahkan diundang presidenpun mereka enggan datang.''Istilah Mingkabau atas kondisi itu: Minyak Abih Samba ndak lamak (Minyak habis sambal tak enak), yang artinya sudah menghabiskan banyak biaya, ternyata hasil kerja tak sesuai harapan. Di mana triliunan uang rakyat yg dipakai KPU/Bawaslu/polisi untuk hajatan pilkada hanya sia-sia saja."
Karena itu, ujar Djohermansyah, sistem pilkada kini sudah waktunya ditata ulang. Pilkada langsung hanya untuk pemilihan gubernur. Sedangkan bupati/walikota cukup dipilih DPRD tetapi dengan kontrol KPK dan penegak hukum.
"Bagi daerah administratif, kepala daerahnya cukup diangkat gubernur saja,'' tegasnya.